Happy reading&sorry for typo
Ditemani senja yang semakin menjelang Melody duduk terdiam, balkon kamarnya lah yang menjadi saksi dia yang setiap sore sampai malam melamun disana, sudah dua minggu ini hampir tidak pernah makan malam, jam tidurnya pun rata rata hanya 3 jam per harinya.
Tidak pernah keluar rumah, keluar rumah jika ingin kuliah dan jika Farish datang menjemputnya untuk jalan jalan. Walaupun sebenarnya enggan untuk bepergian, tapi dia sadar Farish bukan orang yang pantas jadi tempat pelampiasan kegelisahannya. Sebagai seorang pacar juga ia harus mengerti keadaan Farish yang pasti merindukannya, bagaimana pun mereka pasangan.
Yang dia pikirkan bukannya apakah Lidya masih marah dengannya atau tidak, semua kerinduannya pada gadis itu pun sudah ditepisnya jauh jauh, walaupun jelas usahanya gagal. Jika saja dia bisa mengetahui keadaan Lidya sekarang, maka itu akan lebih meringankan beban hatinya.
Dia bukannya tidak berusaha menemui Lidya untuk minta maaf, hampir setiap hari dia kesana namun hasilnya masih tetap sama, rumah Lidya kosong bagai tak berpenghuni walaupun ada satpam yang berjaga disana, setiap ia bertanya pada penjaga rumah berbaju serba hitam itu, beliau hanya menggeleng dan berkata, "Maaf nona, saya tidak berhak memberi informasi tentang majikan saya pada siapa pun".
Dia sudah menyuruh Nabilah kesana, bahkan ia pun meminta pertolongan Sinka selaku sahabat karibnya untuk setidaknya mencari tahu apakah Lidya baik baik saja disana. Ia sudah melewatkan jadwal periksa keadaan kepalanya ke rumah sakit, ia sudah datang kesana dan bertanya pada dokternya.
'gimana keadaan Lidya sekarang?'
'kenapa dia ngelewatin jadwal check up nya?'
'apa Lidya baik baik aja'
'apa jadwal makannya teratur?'
'gimana kalo obat Lidya habis?'
'gimana kalo sakit kepalanya kambuh lagi? Siapa yang bakal pijitin kepalanya?'
Pertanyaan pertanyaan seperti itu yang selalu muncul dalam benaknya setiap saat, tak pernah ia memikirkan seseorang sampai seperti ini, bahkan Farish sekali pun tak pernah. Kadang ia sendiri suka bingung dengan apa yang ia lakukan, maksudnya siapa Lidya? Ia saja baru mengenal Lidya hampir dua bulan, kenapa tidak bertemu dua minggu saja bisa membuatnya sampai seperti ini.
"Teteh, ayo makan..". Nabilah merangkul pundak kakaknya dari belakang.
"Kamu ajalah Dek, Teteh gak laper".
Semakin perih hati Nabilah melihat keadaan kakaknya, guratan guratan dibawah matanya menambah keletihan diwajahnya yang layu, cahaya yang selalu terlihat dari dirinya perlahan meredup seiring dengan kepergian Lidya.
Nabilah langsung keluar dari kamar dengan perasaan cemasnya, ia lalu memilih untuk ke kolam ikan dibelakang rumah, biasanya disetiap kesulitan melanda ia selalu kesana mencelupkan kedua kakinya kedalam air kolam, harap datang ketenangan. Hatinya turut gelisah, ditatapnya terus layar ponsel yang sedari tadi dipegangnya.
"Gimana bilang ke Tetehnya, kalo dianya aja kayak gitu". Perlahan air mata turun membasahi pipi bulatnya. "Gue masa kangen sama lu Om Lid..". Lirihnya.
Tok!
Tok!
Gadis 17 tahun itu jelas mendengar suara ketukan yang sedari tadi menggema, diiringi dengan alunan bel rumahnya, tapi dirinya terlalu malas untuk beranjak.
"biarin ajalah, gak dikunci ini, kalo penting tar juga masuk sendiri". Gumamnya acuh. Tangannya kembali mengayun diair yang dingin itu.
"Eh bencong! Ada tamu didepan bukanya dibukain pintu disuruh masuk, malah dianggurin aja diluar". Suara nyaring yang khas itu sedikit buat Nabilah terkejut.