Sorry for typo, and
happy reading:)
Hari sudah semakin malam namun tidak ada tanda-tanda tanda kepulangan Melody. Nabilah mulai khawatir dengan keadaan kakaknya itu, walaupun ia sangat mengenal Melody adalah orang yang mandiri dan berani.
"Udahlah Bil... Tunggu aja, sebentar lagi juga pulang". Kata Lidya berusaha menenangkan.
" Iya sih Kak... Yaudahlah daripada bete mending kita main xbox aja yok!". Lidya langsung mengangguk menerima ajakan Nabilah.
.
.
.
.
.10.15 malam
Dengan perlahan Melody membuka pintu rumahnya. Tak seperti biasanya keadaan rumahnya saat larut malam begini dengan lampu masih terang menyala.
Ia pun berjalan hendak ke kamar namun langkahnya terhenti saat melihat sang adik sedang tertidur disofa dengan posisi duduk dan bersandar pada seseorang.
Melody POV
Aku memang seharusnya tidak pulang selarut ini, mengingat Mama dan Papa sedang pergi keluar negeri. Namun lagi-lagi semua tugas dan skripsi ini sukses membuatku kewalahan.
Beruntung Farish bersedia menjadi sahabat siagaku saat ini. Ia memang banyak membantuku belakangan ini, ia baru saja pulang seusai mengantarku dengan selamat ke rumah.
Setelah pintu terbuka dengan langkah pelan aku berjalan melewati ruang tamu. Tak biasanya di malam selarut ini lampu-lampu dirumahku masih menyala.
Aku pun berjalan melewati ruang keluarga. "Ya ampun Dek Ayu...". Gumamku saat melihat Nabilah sedang tertidur dengan pulasnya disofa dengan barsandar pada seseorang.
Tunggu, bukanya dirumah ini tidak ada orang selain aku dan Nabilah. Dan dia seorang gadis aku rasa, apa dia anaknya CEO perusahaan tempat Papa bekerja, yang akan tinggal dirumahku itu? Aku kurang bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup oleh rambutnya.
Aku pun berjalan ke dapur untuk melepas dahaga sejenak. Berjalan dengan langkah gontai ke pantry untuk mengambil gelas. Tiba-tiba saja tanpa disengaja,
PRANG!!!
Gelas itu jatuh dari tanganku, ini mungkin efek dari rasa lelahku ini. Aku segera membersihkan pecahan-pecahan gelas yang berceceran.
"WOY MALING!!". Bentakan seseorang itu membuatku mendongak kearahnya.
Aku sedikit menyipitkan mataku. Gadis itu... Sepertinya tak asing bagiku. Sama sepertiku ia yang tadi meneriakiku malah diam menatapku lekat.
"Kamu... Yang di cafe itu kan?". Setelah sama sama terhanyut dalam fikiran aku pun buka suara.
"Kakak yang waktu itu...". Gumamnya.
"Kakak ngapain disini?". Ia malah bertanya padaku.
"Aku? Lah ini rumahku! Kamu ngapain disini?". Pikiranku benar-benar dibuat kacau olehnya. "Atau jangan-jangan... Kamu anaknya Pak Djauhar itu". Aku mencoba menerka hal yang aku saja belum bisa mencernanya.
Ia mengangguk dengan ekspresi bingungnya itu. "Iya.. Jadi Kakak ini anaknya manager Papa aku, berarti Kakaknya Nabilah?". Aku juga ikut mengangguk.
"Ya ampun Kak! Tangan Kakak!". Teriaknya membuatku terkejut. Ia segera mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya dan langsung menarik tangan kiriku.
"Kakak kok bisa gak sadar, jari Kakak luka". Ucapnya. Ia makin menekan jari tanganku.
"Tunggu disini Kak!". Ia menyerahkan serbet itu padaku lalu bergegas pergi.
Aku melihat luka dijari telunjuku, ternyata darahnya sudah lumayan banyak hingga menetes ke lantai tanpa aku sadari. Kenapa aku bisa jadi seceroboh ini.
"Sini Kak". Ia langsung menarik tanganku, membersihkan lukanya lalu segera membalutnya dengan plester.
"Makasih ya.. Aku kok bisa gak nyadar gini sih". Gumamku.
"Ini ada apa sih...". Gumam Nabilah sambil mengucek matanya berkali-kali. "Teteh udah pulang ternyata". Gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Kamu tidurnya nyenyak banget sampe gelas pecah aja gak kedengeran". Kataku. Nabilah hanya memperlihatkan cengirannya saja sambil tertawa kecil.
"Yaudah atuh, pindah gih ke kamar kamu sana". Tukasku. Nabilah mengangguk lalu berjalan dengan langkah gontainya ia menaiki tangga menuju kamar.
Suasana jadi hening dan canggung setelah Nabilah pergi. Lidya dan aku hanya sama-sama terdiam.
Merasa canggung dengan suasana ini aku pun bicara, "Waktu ketemu di cafe aku gak sempet tanya siapa nama kamu". Ucapku.
"Aku Lidya Kak, Kakak Melody kan?". Ucapnya. Ia mengulur tangannya dengan enyuman ramah, dengan senang hati aku menyambut tangannya untuk bersalaman. "Iya, kamu tau dari mana?". Tanyaku.
"Nabilah udah cerita banyak tentang Kakak". Jawabnya ramah.
Aku fikir saat Papa bilang ia akan tinggal disini Lidya ini anak manja yang sombong. Tapi ternyata anggapanku ini jelas berbalik, buktinya adalah sikapnya yang ramah padaku dan aku kira ia anak yang cukup mandiri. Ia bahkan memasakan makanan untuk Nabilah saat aku lupa masak sebelum pergi kuliah.
Hari sudah semakin larut, rasanya tidak enak juga menahannya yang sudah mengantuk disini untuk menemaniku mengobrol. "Yaudah atuh, kayaknya kamu udah ngantuk ya.. Maaf jadi ganggu tidur kamu gini". Ucapku.
"Gak apa-apa kok Kak, hehe.. Yaudah kalo gitu aku tidur duluan ya..". Pamitnya lalu pergi meninggalkan aku sendiri di pantry.
Entahlah, padahal aku tadi yang menyuruhnya untuk tidur. Tapi kenapa aku malah jadi tidak rela membiarkan dia pergi tidur. Dunia memang sangat sempit, aku bahkan tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi setelah kejadian di cafe itu.
Ini udah part ke 4 dari ceritaku dan votenya masih (-)100, padalah ekspetasi aku, vote untuk cerita ini bakalan 100 keatas sebelum part 4 dipublish:')
Jadi aku bakal nunggu votenya lebih dari 100 deh untuk ngelanjutin ke part selanjutnya.jadi, please.. jangan jadi silent reader dong.. :'(
Jan pelit" vote & commentnya yaa..
