Happy reading & sorry for typo
Dinding dan lantai dingin putih pucat ini lah yang menjadi saksi atas kesedihan dan penyesalannya. Dirinya masih setia duduk dibangku panjang yang kosong, menunggu disamping pintu ruang ICU harap harap cemas. Mulut tak henti berucap cepat,
Maafin aku Lid
Maaf
Lidya maafin aku
Bahkan tubuhnya yang sudah menggigil kedinginan pun ia biarkan, bahkan jika ia bisa membeku ditempat ini pun ia tak peduli, tak juga mau beranjak, setidaknya sampai ia tau kondisi Lidya.
Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Lidya, setelah mata kepalanya sendiri yang melihat bagaimana naasnya kondisi gadis malang itu. Ia menyesal, sangat menyesal pada dirinya yang membiarkan Lidya pergi dari rumahnya malam itu. Sekarang sudah pukul 3 pagi dan tak satu pun dari Melody, Sinka, Nabilah, atau pun Naomi yang berniat untuk tidur.
Sinka dan Nabilah pergi ke kantin untuk mengisi tenaga mereka yang sukses terkuras habis karena kejadian malam itu. Naomi dan beberapa saksi dilokasi kejadian sekarang sedang berada dikantor polisi, mengurus masalah tentang Yona, dan satu lagi otak juga dalang dibalik semua ini. Farish.
Sedang kan melody, gadis itu lah yang masih setia menunggu Lidya didepan ruang ICU. Ia tak berhenti berdoa dan meminta maaf atas kesalahan dirinya. Bahkan sampai jejak air mata dipipinya pun mulai mengering.
Langkah kaki dari lorong rumah sakit pun menghancurkan lamunan dan ratapannya. Seorang gadis berjalan sendirian dengan langkah beratnya. Melody mengenal jelas wanita itu, namun ia terlalu lelah untuk menghampirinya, dan menanyakan kabar kedua tersangka yang sekarang ada dikantor polisi itu.
Wanita itu lalu duduk disebelahnya, tak memedulikan lantai runah sakit yang dingin dan kotor, ia mensejajarkan posisinya pada Melody yang terduduk lemas dilantai. Satu tangannya ia pakai untuk mengusap punggung gadis malang itu.
"Mereka berdua udah diurus dikantor polisi, Yona dan Farish, sementara Farish tersangka utamanya". Naomi, gadis itulah yang sekarang sedang merangkul Melody.
Melody nampak diam saja, bicara untuk menanggapi pun tidak, ia memilih bungkam. Naomi pun cukup dewasa untuk mengerti keadaan Melody yang sedang kacau kacaunya itu. Namun ia kembali teringat sesuatu, tangannya merogoh ke dalam tasnya, mengeluarkan sebuah jaket hitam, dan Melody jelas tau siapa pemilik jaket itu.
"Ini punya Lidya, ada surat didalam kantongnya. Aku gak berani buka, ini buat kamu kayaknya, jadi kamu lebih berhak". Ia menyerahkan surat itu pada Melody, jaketnya pun ikut serta. Melody yang ingin segera membuka surat itu pun mengurungkan niatnya. Naomi bilang, mungkin ia harus membuka surat itu jika memang ia sudah siap. Dan Melody masih belum bisa menerima kemungkinan yang akan tertulis diatas surat itu, jadi ia kembali terdiam.
"Ada satu fakta tentang Lidya dan kejadian ini yang harus kamu tau". Ucap Naomi. Ia menarik nafas panjang sebelum mulai bicara.
"Kamu inget waktu pertama kali Lidya jenguk dirumah sakit pagi-pagi?". Melody mengangguk. "Dia sebenernya pergi ke tempat lain dulu sebelum nemuin kamu, malam sebelum paginya kalian ketemu ternyata Lidya nyamperin Farish ditempat tongkrongannya. Dia balas dendam ke cowok brengsek itu karena udah nyakitin kamu. Malam itu dia marah banget sampai nyerang Farish membabi buta, tanpa kasihan, dan tanpa ampun". Air mata Melody kembali luruh mendengarnya. Ia kemudian bersuara, "Jadi itu sebabnya aku lihat luka dan memar diwajah dan tangannya? Bukan karena dia latihan muay thai, tapi karena berantem sama Farish". Lirih gadis itu dengan suara seraknya sambil menangis tersedu.
Naomi mengangguk, lalu melanjutkan kalimatnya. "Dan karena tau dia gak cukup kuat untuk lawan Lidya, makanya dia hasut Yona dengan menguak kembali berita yang udah ditutupi keluarga Lidya selama bertahun tahun, bahkan Lidya pun gak tau tentang hal itu, dia jadiin Yona bonekanya untuk balas dendam ke Lidya".