Empat

145 7 0
                                    

Keadaan terkadang membuat kita melakukan apa yang ada di luar kendali kita, benar bukan? Seperti apa yang sekarang aku lakukan. Duduk di sebuah cafe menanti seorang perempuan yang sebenarnya tidak terlalu aku kenal, dan aku nekat datang ke tempat kerjanya hanya untuk mencari tau siapa sebenarnya sahabatnya itu. Aku seorang Isya yang nota bene seorang lelaki yang menjadi incaran para calon dokter justru tergila-gila pada sosok perempuan yang benar-benar tidak dapat aku pahami. Kehidupan sekolah dan kampus yang membuat aku sering bercengkrama dengan banyak perempuan dan memahami setiap karakter mereka, akhirnya harus tunduk pada rasa penasaranku sendiri. Jika adda istilah yang mengatakan semakin kamu ingin tau, semakin kamu sulit untuk mundur dan semakin membuat segala fokusmu tercurah pada hal tersebut. Maka untuk saat ini, aku katakan benar. Aku setuju.

"Hai... Isya kan?" Ah itu dia perempuan yang aku tunggu, Leca teman dekat dari seorang Larasati. Aku menyambut uluran tangannya dan tersenyum, tidak lupa aku mempersilahkan dia duduk.

"Ingatanmu bagus Ca, Maaf aku mengganggu kerjamu. Aku bisa minta izin pada bosmu jika kamu tidak keberatan." Aku memang pernah beberapa kali kesini, menemui Laras, saat dia tidak ada di kosnya. Tapi kali ini aku juga tidak menemukannya disini, maka dari itu aku memutuskan untuk mengobrol dengan Leca, Sahabat Laras. Aku berharap dapat mengenal Laras lebih jauh darinya.

"Aku fikir Laras disini ca.."

"Oh.. Kalau dia tidak disini atau di kosnya mungkin dia sedang ada di Rumah sakit, sudah coba menghubunginya?" Aku menggeleng

"Apa dia akan memberitahuku keberadaanya ca?"

"Kenapa tidak? memang selama ini dia tidak memberitahu mu jika dia sedang ada dimana?"

Aku hanya terdiam, aku hanya merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Mana mungkin perempuan lajang seumurannya hanya berkutat antara kost, rumah orang tuanya, cafe tempat sahabatnya ini dan kantor atau rumah sakit saja? apa benar dia tidak mempunyai kegiatan yang lain. Namun, aku merasa tak enak mengatakan hal yang sebenarnya menjadi beban fikiranku ini pada Leca, orang yang baru kenal yang mungkin akan lebih membela Laras dibanding aku. Tak lama aku melihat Leca mulai menghembuskan nafasnya berat, aku rasa ada sesuatu yang juga menjadi beban fikirannya, atau mungkin dia juga menutupi sesuatu dariku?

"Coba telponlah dulu, jika kau memang ingin tau keberadaannya. Jika sudah tau kita bisa berbincang santai. Setidaknya aku ingin kamu benar-benar bisa masuk dalam dunianya itu. Aku yakin kamu juga bingung dengan sikapnya yang penuh dengan diamnya itu." Ternyata benar, bukan hanya aku yang merasakan sifat diamnya itu. Akupun mengangguk dan segera menghubunginya.

" Assalamu'alaikumm.."

"wa'alaikumsalam de, sedang sibukkah?"

"Ga mas. Ada apa?"

"Aku tadi ke kos mu dan sekarang di cafe tempat biasa kamu santai dengan Leca, tapi juga tidak ada. Apa kamu pulang kerumah orang tuamu? atau kau ke Rumah sakit lagi?"

"Aku sedang ada urusan, di Jalan R. E. Martadinata No. 11, Citarum, Bandung Wetan kalau memang ada yang serius datang saja. Ga masalah."

"Owh, kalau gitu nanti akan ku kabari lagi, sepertinya aku ingin menikmati kopi dan pisang coklat dulu disini."

"Baiklah,Assalamu'alaikum..."

"wa'alaikumsalam..."

Setelah selesai aku kembali memasukkan handphoneku dan kembali fokus pada perempuan di depanku.

"Apa kamu tidak bisa lebih banyak bicara dengannya? Dia memang tidak pandai bercerita dan memulai suatu sapaan tapi dia tidak akan diam saat kamu bertanya. Dia orang yang bertanggung jawab akan semua yang dia lakukan, termasuk saat dia mengijinkan kamu mulai mengenalnya, dia tidak akan membiarkan kamu berfikir yang aneh-aneh atau membuat kalian salah paham, hanya saja dia tidak akan bicara jika kamu tidak bertanya. Hidupnya mungkin tampak biasa saja, tapi banyak hal yang dia tidak dapat ceritakan begitu saja pada orang lain. Aku tidak punya hak untuk menjelaskan apapun tentang segala tanda tanya yang ada pada dirimu terhadap dirinya, tapi aku bisa menyarankan untuk kamu mulai bertanya padanya. Semua hal yang dia kerjakan pasti dapat dia jelaskan secara detail. meski dia perempuan tapi dia cenderung berfikir logis dengan akalnya dan mengesampingkan apa yang ada di hati dan apa yang dia rasakan. Jangan pernah berharap dia akan bermanja-manja atau mengeluh seperti kebanyakan perempuan yang kamu temui, karena mungkin hal itu tidak akan kamu dapati sampai dia benar-benar dapat menerima. Meskipun begitu, bagiku suatu kemajuan hebat dia mau membuka hatinya pada laki-laki asing dan mengijinkannya masuk pada daerah-daerah pribadinya."

Aku hanya dapat diam mendengarkan dan mencerna setiap ucapannya dan menyelaraskan dengan segala hal yang selama ini aku rasakan saat bersamanya. Aku memang pernah pergi bersamanya walau sekedar makan, dan pernah aku menemaninya pergi ke undangan temankerjanya bersama tema-teman kerjanya yang lain. Aku memang merasakan hal yang di katakan Leca, dia seakan membangun dinding tinggi agar orang lain tak dapat menembusnya, namun dia tetap tersenyum dan bertegur sapa setiap kali ada temannya yang mencoba menyapa dan mengajaknya bicara.

"Apa dia sebegitu tertutup? atau hanya karena pembawaanya yang pendiam?" Tanyaku kemudian

"Tidak keduanya, dia sebenarnya pribadi yang menyenangkan. Hanya saja dia tidak dapat memunculkan hal demikian pada sembarang orang. Dia... ah sudahlah kamu coba saja bertanya langsung padaya."

#####

Menikmati malam di Bandung itu cukup menyenangkan dengan catatan kalian kuat dengan udara dinginnya, entah kenapa keluar dari cafe tadi bukannya pulang atau menghampiri Laras, aku justru lebih memilih terdampar di sebuah pelataran masjid yang memang selalu ramai ini. Jangankan malam minggu seperti saat ini, bahkan di hari biasapun masjid agung takkan kekurangan pengunjung. Aku masih dengan tenang menikmati pemandangan yang sama, muda mudi berjalan atau duduk-duduk bersama teman ataua pasangannya. Apakah aku iri? tidak. Aku tidak iri dengan hal yang demikian, karena sebelum aku bertemu dengan Laras, aku sering menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman kampusku.

Pukul 20.00 WIB bukan waktu yang tergolong malam untuk kota yang mungkin tidak pernah tidur seperti Bandung ini, hanya saja entah mengapa di tempat yang ramai ini aku merasa ada sesuatu yang kurang, apa mungkin aku merindukannya? Belum sampai tiga bulan aku mengenalnya, tapi fikiranku entah mengapa hanya fokus saja padanya.

"Jika kamu dapat membuatnya tertawa lepas, maka kamu akan tau betapa menyenangkannya dia."

"Apa dia juga bisa tertawa lepas?" ucapku sambil terkikik, karena aku tau sekali selama kami bersama, aku hampir tak pernah melihatnya tertawa. Hanya sebeatas tersenyum atau sedikit tertawa di paksakan.

"Hai.... Dia manusia normal. Bahkan jika dia sudah mulai tertawa, dia akan lupa caranya berhenti. Dan jangan biarkan dia celah untuk mengolokmu, karena dia takkan berhenti mengolok sampai kita gondok padanya... haahahaha"

Aku hanya mencoba mencerna ucapan leca tanpa niat menghentikan tawa yang mulai tercipta diantara kami. tapi seulas tanya hadir dalam hatiku, akankah aku mendapatkan moment yang demikian?

"Uncle...." suara si kecil ini membuat aku kembali tersadar, bahwa aku sudah tak lagi bersama Leca dan menertawakan sifatnya yang entah kapan dapat aku temui.

"Uncle, bolehkah aku ambil bolanya?" Tanyanya, dengan raut muka ketakutan. Apakah aku semenakutkan itu? Akupun segera menghampiri membawa bola yang dia maksud. Gadis kecil yang lucu mungkin usianya sekita lima atau enam tahun.

"Ini sayang, datang dengan siapa?" tanyaku setelah mendekat dan menyerahkan bolanya.

"Bunda...." panggilnya pada seorang wanita yang tengah berjalan menghampiri kami.

Dia...??? Bunda??




=== Bdg, 280317 ===

My Sick...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang