Bicara tentang hati dan rasa nyaman tak akan pernah dapat di bicarakan dengan lisan dan di jabarkan dengan kata. Andai satu diantara kalian ada yang dapat menjabarkan dengan kata, maka sejatinya kalian belum menggunakan hati apa yang kalian rasa itu. Sama halnya dengan cinta yang tak mungkin di jabarkan dan dijelaskan alasannya karena berkenaan dengan rasa dan hati.
Siapa manusia di dunia ini yang ingin hidup dalam kesendirian? Pasti jawabnya tidak ada, jika sampai ada yang menjawab 'aku ingin hidup sendiri' jawaban yang tepat atas kalimat itu adalak 'keadaan membuatnya tidak nyaman'. Awalnya segala nalarku berfikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, karena setelah malam pasti akan ada pagi yang terang bersama cerahnya matahari. Keyakinan bahwa semua lara akan segera berakhir dan terobati. Layaknya anak kecil yang berusaha bahagia dengan turunnya hujan dengan harapan pelangi setelahnya. Akupun demikian, memupuk keyakinan bahwa bahagia akan segera datang.
Aku seorang anak yang memiliki keyakinan bahwa aku memiliki orang tua yang lengkap dan pasti akan bahagia. Aku seorang anak yang berkeyakinan jika aku menjadi anak yang penurut maka akan mendapatkan kasih sayang yang sempurna. Aku seorang anak yang berkeyakinan jika aku menjadi pintar dengan segala prestasi di sekolah akan menjadi kebanggakan keluarga. Adakah yang salah dengan keyakinanku? Jika memang ada yang salah, dimana letak kesalahannya? Bukankah keluarga sumber kebahagiaan? Bukankah anak penurut yang berprestasi itu membanggakan? Lantas kenapa aku harus di tinggalkan?
Aku hidup dengan keadaan yang diciptakan oleh seorang nenek agar dapat lupa tentang kerinduan pada orangtuanya, Jahatkah beliau? Bukan. Tidak. Beliau orang yang luar biasa membuat aku tetap hidup. Pernahkahkalian berfikir bahwa rindu itu dapat membunuh seseorang? Jika tidak, itu berati kalian belum pada tahap merindui. Karena rindu itu membuat apa yang ada dalam khayal dan nyatamu adalah dia yang kalian rindui. Meskipun demikian jauh dari keadaan yang di ciptakan Beliau, aku adalah seorang anak yang memupuk keyakinan akan bahagia dan menjadi kebanggaan bagi dan bersama orang tuanya. Naif bukan? benar, saat usiaku menginjak dua puluh tahun aku menyimpulkan keyakinan yang di pupuk di Laras itu sangat naif dan tidak relevan.
Dan setelah sadar, maka akan lebih baik jika aku mengikuti keadaan yang telah diciptakan nenekku, hidup dengan keadaan tanpa rindu pada siapapun termasuk orang tua sendiri. Lantas saat hidup tanpa apapun yang kau ingin temui dan dapatkan, apa yang akan kau rindui? Kematian. Itulah yang aku fikirkan saat dalam keadaan tersebut.
Setekah hidup hampir delapan belas tahun jauh dari orang tua dan di paksan menjadi orang tua, akhirnya aku kembali tinggal bersama mereka. Meski hal itu cukup terlambat bagiku namun aku berusaha bahagia, mungkin saat inilah Tuhan menjawab do'aku dengan membiarkan aku hidup bersama dengan kedua orangtuaku. Meski akhirnya sebuah cita-citaku harus pupus, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja karena aku bersama orangtuaku.
Dalam keadaan kehilangan orang yang aku harapkan menjadi bagian hidupku, aku akhirnya menemukan orang tua yang selama ini aku rindui secara diam-diam. Kenapa diam-diam? Karena nenek selalu mengingatkanku berbagai kegiatan agar aku tak lagi merindui mereka sehingga hidupku akan terus berjalan. Dlam setiap malam, aku mencoba menangis dalam sebuah kamar di sebuah rumah yang cukup besar, namun hanya dihuni oleh dua orang anak perempuan berusia delapan belas tahun dan tiga belas tahun.
Rumah yang orang tua kami bangun saat aku duduk di kelas lima dan adikku mulai masuk kelas satu SD. Adik yang dalam harapanku tak akan pernah merasa kespian dan kehilangan apapun dalam hidupnya, adik yang setiap waktu aku usahakan tak mengingat orang tua ku juga. Adik yang akhirnya pun dapat berdiri tanpa lagi merindu dan mengenang orangtua kami. Adik yang dengan bangga selalu aku akui, dia adikku yang meski tanpa orang tuanya selalu menjadi juara umum di sekolahnya. Dia Adikku. Dan dialah salah satu alasanku bertahan pada akhirnya.
Lepas musibah dan gagalnya segala persiapan pernikahanku, aku di boyong orang tuaku tinggal ke Bandung bersama mereka, menyenangkan bukan? Lagipula aku juga telah selesai dengan pendidikan SMK ku. Di kota besar, aku akan bisa mendapatkan pendidikan dan melanjutkan ke perguruan tinggi yang lebih baik dari di kota kecil, tempat aku lahir dan besar. Fikirku dan keyakinan yang aku pupuk kala itu. Selalu ada hikmah di setiap kejadian bukan?
Disini, di Bandung, kota yang selama ini ditinggali orang tuaku dan adik-adikku, kota yang membuat kami -aku dan adik sulungku- terpaksa hidup terpisah dengan kedua orang tua dan adik-adik kami yang lain. Namun akhirnya aku kini kembali bersama mereka, keluarga yang selama ini aku rindui dalam diam. Dan adikku pun akan menyusul, selepas lulus SMK nanti.
Aku memulai hidup baru disini, membantu kedua orangtuaku jualan nasi, dan sesekali menemani adikku yang baru masuk RA ke sekolahnya dan bermain sepulangnya. Omku -adik bungsu bapak- dengan baik hati menawarkan aku sebuah beasiswa dari salah satu yayasan pendidikan Islam, karena awalnya tidak ada niatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, maka semua kesempatan yang seharusnya aku dapat saat akhir sekolah aku lewatkan. Namun sekali lagi keyakinan akan kebahagiaan yang pasti akan datang membuatku optimis, aku mencoba dan mengikuti segala seleksi yang ada hingga akhirnya aku di nyatakan lulus dan dapat melajutkan pendidikan dengan beasiswa penuh, hanya saja aku tidak dapat memilih jurusan dan itu bukan hal yang memberatkan bagiku karena fakultas yang disiapkan adalah ekonomi syariah dan aku yang awalnya dari jurusan accounting bersyukur dengan hal itu, karena dapat mendalami ilmu yang memang sejak awal aku pilih sendiri.
Namun kehidupan memang takkan berjalan dengan sati sisi kehidupan saja, kebahagiaan tidak akan ada tanpa kesedihan bukan? setelah segala sesuatunya selesai ada hal di luar dugaan yang tak mengijinkan bahagia itu aku jamah dengan mudah.
"Mbak, yakin mau ambil beasiswa ini?" Aku mengangguk pasti tanpa keraguan seditpun, bagaimana aku akan ragu jika dari awal aku telah optimis dan berusaha dengan keras. Usaha tidak pernah salah bukan? Aku melihat mamahku menghela nafas panjang. "Ga usah aja ya mbak, kejauhan dan disana mbak sendirian. Mamah takut ada hal-hal yang tidak di inginkan"
bagai petir menyambar, sekali lagi aku merasa hidup tidak adil denganku. kalau khawatir akan jauh dan aku sendiri kenapa baru sekarang? disaat dengan bangga akan aku katakan 'aku terbiasa hidup sendiri' kenapa tidak dulu, disaat aku dipaksa kehilangan orang tuaku saat kecil dan di saat aku dipaksa menjadi kakak yang bertanggung jawab atas adiknya. Kenapa baru sekarang?
berbagai perdebatan kecil terjadi dan akhirnya aku tak bisa berbuat apa-apa, dengan keputusan akhir aku akan bekerja dan sebagian gajinya akan aku gunakan untuk kuliah jika memang tidak mungkin tahun ini maka tahun depan.
Izinkan aku bahagia Tuhan.... Pintaku dan aku memutuskan untuk bertahan sekali lagi, dan menikmati kebersamaanku dengan orang tua yang aku rindui selama ini.
"Rezeki ga akan kemana, mungkin beasiswa ini belum jodohku" Hiburku dalam hati
=== Bdg, 120417 ===
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sick...
RomanceTerlahir menjadi anak tunggal, tidak menjadikan aku fokus kedua orangtuaku. Disaat aku mulai meniti kehidupanku tanpa mereka, aku harus mulai menjadi kakak yang harus membagi perhatianku pada adikku, selain membuat diriku tak merindukan keberadaan m...