Dua Puluh

74 6 2
                                    

Menjelang ashar Isya sudah terbangun dari tidurnya, dia segera mandi dan bersiap untuk ibadahnya. Selesai semua kegiatannya di kamar, Isya segera keluar berharap akan ada seseorang yang dia temui selain Bi Isah dan suaminya. Namun bukan suara atau pertemuan dengan orang yang dia temui, tapi suara tangis tertahan yang keluar dari kamar yang biasa digunakan Laras untuk menginap di rumah besar ini. Dengan sedikit keberanian yang ada, tanpa meminta izin dulu pada yang menempati kamar, Isya memberanikan diri membuka pintu kamar tersebut. Tampak seorang perempuan tengah terseduh dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya di atas sajadah masih dengan mukenah yang menutupi dirinya.

"Ada apa?" Sapa Isya dengan sedikit menepuk pundak Laras. Yang ditepuk pundaknya akhirnya sedikit menghentikan tangisannya dan menatap orang yang menepuknya. Tanpa sadar Laras segera memeluk Isya tanpa bicara apapun dan kembali terisak dalam pelukan lelaki tersebut. Tanpa bicara apa-aa Isya hanya mampu menepuk-nepuk punggung Laras pelan, berharap hal itu dapat memberikan sedikit kekuatan untuknya atau minimal mengurangi sedikit beban Laras yang mungkin belum bisa Laras ceritakan padanya.

"Mas, mau antar  Laras kesuatu tempat?" Isya mengangguk menjawab pertanyaan wanita yang kini sedang dalam pelukannya. "Boleh dek, kapan?" "Sekarang" "Bersiaplah."

Selesai mereka bersiap, di luar dugaan Laras memberikan sebuah kunci mobil pada Isya, dan ternyata mobil tersebut juga sudah di depan pintu rumah tersebut. Meski sedikit keberatan Isya tetap mengambil kuncinya dan segera mengendarai mobil tersebut menuju cafe tempat Leca bekerja karena menurut Laras ada beberapa barang yang harus mereka ambil.

Sampa di parkiran cafe beberapa karyawan dengan sigap membuka bagasi mobil yang di kendarai Isya dan memasukan beberapa plastik besar yang Isya yakin berisi makanan yang dijual cafe tersebut, terbesit dalam pikiran Isya, untuk apa makanan sebanyak ini? tidak mungkin Laras akan makan sebanyak itu bukan? jika di lihat lagi mungkin isi dari makanan tersebut bisa dimakan oleh lima puluh orang lebih. Namun semua tanya tersebut tetap Isya simpan dalam hatinya dan tetap mengikuti apa yang Laras mau. Mereka tidak sempat menyapa Leca di dalam cafe karena begitu makanan tersebut masuk, Laras meminta Isya untuk segera melanjutkan perjalanan mereka.

"Yayasan Nurul Qolby"

Isya dan Laras berhenti di depan sebuah yayasan yang tak lain ada panti asuhan, dengan cepat Laras menghapus jejak air mata yang tanpa sadar tak kunjung berhenti sejak di perjalanan tadi dan Isya hanya diam tak ingin mengganggu apa yang Laras lakukan. Begitu turun Laras disambut oleh beberapa wanita paruh baya, dengan senyum yang mengembang Laras segera menghampiri mereka, bersalaman dan berpelukan seakan mereka adalah orang yang telah lama tidak berjumpa. Isya masih terdiam di bangkunya, di balik kemudi mobil yang dia kendarai. kenapa bisa berubah secepat itu?  Fikiran Isya mulai bertanya-tanya lagi akan perubahan sikap yang terjadi pada Laras. Tidak lama ada orang yang mengetuk pintu di sebelahnya dan memintanya membukakan garasi mobil karena beberapa pemuda yang menghampirinya akan mengambil bawaan yang ada di mobil itu atas perintah Laras.

"Mas isya ya? Masuk aja ke dalam. Mba Laras sudah di dalam dan mungkin akan lupa akan mas hehehe" Ajak salah orang pemuda yang tengah membawa kresek yang dia ambil dari mobil. Isya yang namanya merasa di panggil mengangguk dan segera keluar dari mobil, mengikuti langkah kaki pemuda yang mengajaknya masuk.

"Laras sering kesini dek?" Tanya Isya mulai mengikis sedikit demi sedikit tanya di hatinya.

"Iya, biasanya sebulan sekali kesini sama Mbak Leca" Jawab pemuda yang dipanggil dek tersebut. "Mbak Laras sudah kaya kakak kami sendiri disini dan lagi Mbak Laras juga sudah menganggap tempat ini sebagai salah satu rumahnya." Tak lama pemuda tersebut disambut oleh teman-temannya yang lain dan segera mengambil alih beberapa kresek yang ada di tangannya.

"kakak mau minum apa?" Tanya seorang gadis yang tengah bersiap ke dapur dan membawa sebuah kresek besar pada Isya. "Apa aja dek" Jawab Isya dan dia segera duduk karena pemuda yang baru saja menemaninya masuk mempersilakannya.

"Namanya siapa dek?" Tanya Isya, mencoba membuka obrolan denga pemuda yang sedari tadi berinteraksi dengannya meski mereka belum saling kenal. Ah ralat, Isya tidak mengenalnya namun dia mengenal Isya.

"Yudi Mas, Wahyudi" Jawab si pemuda yang telah duduk di hadapan Isya. "Mas ini Calon suaminya Mbak Laras?" Tanya Yudi pada Isya. Isya bingung menjawab apa pada pertanyaan tersebut, karena mereka sebenarnya tidak pernah tau jelas hubungan yang ada diantara mereka berdua, kecuali saling memberi kesempatan untuk saling mengenal. Isya akhirnya mengangkat kedua bahunya, dia tidak mau memberi jawaban yang dia sendiri tidak yakin.

"Nak Isya ikut makan malam bersama disini kan?" Tanya seorang wanita paruh baya yang ternyata juga ikut menyambut kehadiran Laras tadi. "Sepertinya begitu bu, kalau memang Laras menginginkan hal tersebut." Jawab Isya sopan. "Oya bu, Laras ada dimana ya?"

"Mbak Laras pasti di kamar Lintang kang Bund?" Tanya Yudi menyela apa yang akan di ucapkan Ibu tersebut untuk menjawab Isya. Yang di tanyapun mengangguk "Nah Yudi, tolong antar Nak Isya ini ke kamar Lintang ya?" Wanita paruh baya tersebut meninggalkan keduanya tanpa menunggu jawaban dari Yudi. "Bunda pasti mau menyiapkan makan malam untuk kami, ayo Mas." Yudi segera bangkit dan menarik tangan Isya untuk masuk ke dalam.

Di ruangan tersebut terdapat beberapa ruangan yang di jadikan kamar-kamar oleh anak-anak yang tinggal di yayasan ini. Terlihat dari luar masing-masing kamar terdiri dari tiga sampai tempat tidur, yang kemungkinan menunjukkan berapa orang yang tidur dan tinggal di tempat tersebut. Setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya mereka menemukan seorang gadis yang tengah menahan tangis, tengah menatap seseorang di balik jendela kaca yang menjadi pembatas mereka.

"Itu mbak Laras, saya tinggal dulu ya?" Bisik Yudi pelan lantas meninggalkan mereka tanpa menunggu jawaban apapun dari Isya. Isya mendekati Laras secara perlahan, dan sekali lagi Laras memeluk Isya kuat saat Isya menepuk bahunya pelan.

"Dia masih kecil kan mas? Dia bahkan mungkin belum tau mana yang salah dan yang benar, tapi kenapa mas? Kenapa Tuhan memberikan ujian yang demikian berat untuknya. Bukankah di luar sana jauh lebih banyak manusia yang cerdas namun tak pandai memilah yang mana baik dan buruk?" Ucap Laras pelan dalam tangisan tertahan di dalam pelukan Isya.

Isya mengangguk pelan "Memang dia siapa dek?" Tanya Isya selanjutnya

"Dia, dia Lintang mas" Jawab Laras lirih


=== Bdg, 180417 ===

My Sick...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang