Lima

111 6 0
                                    


"Bunda...." panggilnya pada seorang wanita yang tengah berjalan menghampiri kami.

Dia...??? Bunda??

Gadis kecil itu berlari dan bersembunyi di balik tubuh wanita itu, meski hanya dapat memeluk bagian kakinya saja. Aku masih terdiam, di tempat tadi aku berlutut dan menatap apa yang baru saja aku lihat dan aku dengar.

"Winda... ada apa sayang" Suara laki-laki baru saja membuatku tersadar, dan segera berdiri sembali menghampiri si gadis kecil dan mengembalikan bolanya. Kira-kira kejutan apa lagi yang aku terima saat ini? Apa yang dia lakukan tadi disana? Harusnya aku menghampirinya, bukan malah melanjutkan perbincanganku dengan Leca tadi. 

"Papi, tadi bola Winda lari kearah Uncle itu jadi Winda kejar dan Bunda ikut kesini." 

"dia tidak akan diam saat kamu bertanya"  Tiba-tiba kalimat Leca kembali terniang dalam ingatanku. Apa aku harus bertanya sekarang? Lantas hal mana dulu yang harus aku tanyakan? tentang kesehatannya, statusnya dengan Daddy atau statusnya dengan si gadis ini? 

"Mas Isya...?" 

Akhirnya dia tersadar bahwa aku ada disini, di hadapannya. Aku berusaha tersenyum menjawa panggilannya. harus percaya dan saling terbuka Isya, harus. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri, entah untuk siapa dan untuk apa sedangkan aku saja baru mengenalnya.

"Hai Laras..." jawabku kemudian, akuk tidak ingin kehilangannya dan aku akan mencoba mengenalnya, bertanya. aku akan bertanya. 

"Mas kenalkan ini Winda, dan ini Kak Aditya" Tunjuknya pada gadis yang ada dalam gendongannya dan lelaki yang tengah berdiri di sampingnya. Seperti keluarga yang bahagia dan sempurna, lihat? mereka sangat serasi Isya. Cibirku dalam hati.

Tak lama aku menerima uluran tangan lelaki yang di kenalkan Laras sebagai Adit, dan akupun mengenalkan diriku. Dia tampak begitu ramah, sedangkan aku? aku tak dapat tersenyum semanis itu sedangkan dalam hatiku ada perasaan ingin memukulnya. 

Apa aku salah memilihnya? ah ya kamu salah Isya, mana ada orang benar yang berniat menikah dengan seseorang yang hanya sekali kamu temui di sebuah supermarket? Harusnya aku berfikir lebih cerdas, kamu dokter Isya. Dokter. Kembali hatiku mengumpat dengan segala hal yang aku temui, hingga aku rasakan sebuah tepukan di pundakku dan mengembalikan kesadaranku.

"Ayo mampir ke rumahku, tidak baik terlalu lama di luar di tambah udara dingin seperti sekarang. Kita bisa berbincang di rumahku. Sepertinya Winda juga sudah mengantuk." 

Apa aku harus ikut mereka? masuk ke tengah keluarga yang begitu bahagia ini? apa aku sudah siap melihat adegan-adegan romantis yang akan mereka hidangkan untukku? Apa akan sampai di sini saja Laras?

Belum sempat aku menjawab Laras sudah pergi bersama Winda, sedangkan aku masih menikmati kesendirianku dan segala tanda tanyaku di temoat yang sama.

"Ayolah... Jangan mengambil kesimpulan apapun. Bertanyalah. Itu jika kamu memang ingin serius memulai suatu hubungan dengan Laras." Ucapnya lagi

"Hmm... Anda tau saya?" 

"Iya , aku tau. Lelaki tidak waras yang mengajak Laras menikah di pertemuan pertamanya dan di jawab dengan sebuah perceraian?" Dia mulai terkikik geli, seakan aku ini badut yang benar-benar menghiburnya."Tidak perlu terlalu kaku." Dia kembali menepuk bahuku, mau tidak mau aku mulai berjalan mengikutinya. "Bawa kendaraan?" Aku mengangguk. "Baiklah kamu bisa mengikuti kami dari belakang."

====

Disinilah aku sekarang, di sebuah rumah dua lantai yang sederhana dan nampak begitu nyaman. Duduk di sebuah sofa di temani seseorang yang sampai sekarang masih diam menikmati secangkir kopi di hadapanku. Entah apa yang membuatnya tampak mengulur waktu dan tidak membuka perbincangan, apa dia menanti Laras turun?

"Minumlah dulu, dan tidak perlu tegang seperti itu." Akhirnya bersuara juga dia "Nanti setelah kau santai kita akan berbincang tentang aku, Winda dan juga Laras"

Aku akhirnya mengikuti apa yang dia perintahkan, aku masih tak tau harus memulai dari mana? apa harus bertanya padanya atau menunggu Laras.

"Winda, dia putri kami. Putri angkat aku dan Nilam, Istriku." Nilam? Istrinya? Lantas Laras? "Winda kami adopsi karena saat itu kondisinya sangat memprihatinkan. Awalnya Laras yang berniat mengadopsinya, tapi orang tua Laras melarangnya. Dengan alasan dia dapat memiliki anak sendiri tanpa harus repot mengurusi anak orang lain yang tidak dia kenal. Namun demikian, Laras adalah orang yang cukup dekat dengan Winda, karena Laras orang yang pertama kali menemukan Winda."

Aku masih setia menanti kelanjutan kisah yang akan dia ceritakan padaku, meski aku sendiri tidak tau apakah hal ini bisa mengurangi gelisah dalam hatiku. Aku menatapnya yang mulai seperti menahan sesuatu, tak lama dia menghembuskan nafasnya dengan keras. Apa ada hal yang sulit untuk di jelaskan?

"Winda di temukan Laras dalam keadaan tidak sadarkan diri di pinggir jalan, saat dia akan menemui beberapa orang di rumah sakit tempatku bekerja. Karenanya dia membawa Winda ke tempatku dan kami mencoba memberi perawatan semampu kami. Tapi di luar dugaan saat Winda sadar, Winda seperti anak yang tengah dalam tekanan dan kami sepakat menyimpulkan bahwa Winda mengalami depresi. Laras yang tak tega mengetahui hal tersebut sering datang untuk menjenguk dan menemaninya. Winda dengan keadaannya membuat dia sulit bertemu dengan banyak orang. Setiap ada orang yang baru di lihatnya dia akan berusaha sembunyi semampunya. Laras yang berencana membawanya pulang dan merawatnya mendapat penolakan dan akhirnya dia menyerahkan Winda pada kami."

"Jadi Laras dengan anda?"

"Kami rekan kerja..."

"Rekan kerja? Bukannya...." Belum selesai aku bertanya ada suara yang menghentikan pembicaraan kami

"Kak, ada kompres?"

"Winda sakit?" Tanya Adit

"Bukan, tapi sepertinya kondisiku..." Kata-kata Laras terhenti saat matanya menatap aku, Adit yang melihat tatapan Laraspun bangun dari duduknya. Menuju ke dapur, Laras mengikutinya. Entah apa kalimat yang belum dia selesaikan itu, tapi aku kembal mempertanyakan segudang cek up yang dia jalani...

Laras, seberapa banyak kau menyimpan rahasia?






=== Bdg, 290317 ===

My Sick...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang