Dua Puluh Enam

51 6 0
                                    

"kalau yang ada kerjaan Kirana, kenapa adek yang ga bisa pergi kemana-mana?" Tanya Isya bingun.

Laras mulai cemas dan bingung harus menjawab apa, Isya belum waktunya tau atau mungkin sebenarnya Laras belum siap memberitahu apa yang terjadi antara Laras dan Kirana.

"Hmm.. Itu mas, hmm... Aku ada kerjaan juga akhir minggu ini mas, nemenin winda hehehe. Biasanya Kak Adit nemenin Kirana kalau Kirana ada kerjaan di luar kota mas. Yaa kaya aplusan gitu deh hehehe." Laras menjawab dengan terbata namun Laras mencoba semampunya untuk tetap tenang dan tidak membuat Isya curiga.

"Dek.." Isya mencoba meraih kedua tangan Laras dan mau tidak mau pandangan mereka akhirnya bertemu, Isya mencoba mengambil perhatian dari Laras karena semenjak tadi mereka berbincang Laras jarang sekali menatap pada dirinya dan selalu menunduk atau menghadap ke arah lain, hal ini jelas membuat Isya mencari tau apa yang sedang ada dalam pikiran Laras, apa sedang ada yang ia tutupi atau ada hal lain yang sedang Laras khawatirkan.

"Dari awal kamu minta kesabaran mas, kita sudah sepakat untuk saling terbuka bukan? Jika memang ada yang membuatmu khawatir, cemas atau takut mas harap kamu bisa ceritakan sama mas. Mas ga bisa janji apapun sama adek saat ini, tapi yang ade harus tau. Mas janji akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk adek, untuk kita." Isya diam dan memperhatikan pandangan Laras yang mulai tampak semakin cemas tak lupa matanyapun telah berkaca-kaca siap untuk menangis. "Bicaralah" lanjut Isya kembali.

Laras hanya terdiam dan tak mampu mengatakan apa-apa, lagipula sejujurnya Laras bingung harus memulai dari mana kisahnya.

"Mas ingin tau tentang apa?" Tanya Laras pelan pada akhirnya.

"Apa hubungan mu dengan daddyku?" pertanyaan itu yang selama ini menjadi boomerang di dalam hatinya,tapi ia tidak ingin gegabah sehingga pertanyaan itu tetap bertengger di dalam hatinya.

"Bagaimana bisa bertemu dengan Kak Adit?" Akhirnya pertanyaan standar tersebut yang keluar dari mulut Isya.

"Setelah hampir dua tahun aku tinggal di sini dan bekerja sebagai buruh pabrik dan semakin menyadari ada hal yang tak lazim terjadi pada diriku."

"Tak lazim?"

Laras mengangguk. "Saat aku mulai bekerja, semua fokus aku curahkan pada pekerjaan karena sejujurnya aku masih mengharapkan dia hidup dan menjemputku sebagai istrinya. Namun begitu, setiap selesai bekerja aku hanya akan pulang dan berdiam di kamar. Hal demikian berulang sampai dua tahun, dan saat itu aku sadar aku tidak punya teman."

"Lalu?"

"Saat aku sedang berselancar di facebook aku melihat status salah satu teman dumayku bahwa Kak Adit akan mengadakan sebuah talkshow, saat itu temannya tentang jati diri. Aku mencoba mencari tau alamat tempat diadakannya talkshow tersebut dan setelah tau dan ternyata tidak begitu jauh. Akhirnya aku hadir kesana."

"Karena tertarik dengan Kak Adit saat itu, aku mencoba mencari tau tentangnya di internet tapi tidak banyak  yang aku dapatkan. Lalu aku mencoba mencari tau tentang panitia yang mengadakan talk show tersebut tapi hasilnya sama. Setelah hampir menyerah aku ingat dengan teman dumay yang membuat status tentang acara tersebut, dan aku mencoba chat dengannya. Setelah hampir satu bulan, akhirnya aku mendapatkan kontaknya."

"Aku memperkenalkan diri sebagai salah satu peserta talkshow nya dan yang membuatku tertarik padanya adalah, sebagai seorang pengisi acara talkshow dia tidak hanya santun pada saat di atas panggung saja, namun juga saat kami berkomunikasi secara pribadi. Aku saat itu menceritakan tentang keadaanku dua tahun terakhir yang berakibat aku tidak memiliki teman dekat, bahkan teman kerja pun hanya sebatas kami saling kenal dan kami saling bekerja sama, di luar itu tidak ada." Laras terdiam sejenak, seakan memikirkan kembali masa-masa yang telah dia lalui saat itu. Isya yang menyentuh tangan Laras yang terasa dingin merasa tak tega dan dia menggenggam erat tangan tangan Laras "Tidak perlu di lanjutkan" Ucap Isya karena merasa tak tega melihat Laras yang seperti menahan sakit.

Laras menggeleng lalu tersenyum. " Sejak itu aku merasa aku memiliki seorang kakak yang selalu ada untukku walau hanya untuk memnbaca pesan-pesan yang aku kirim padanya. Aku yang saat itu merasa autis, merasa nyaman berbicara dengannya, ah tidak, tidak bukan berbicara tapi berbalas pesan. Namun di dunia nyata, autisku semakin akut karena aku jarang sekali bicara. Aku hanya akan bicara seperlunya saja dan saat di tanya saja. perpindahan dari jawa ke sunda membuatku sedikit sulit berkomunikasi karena bahasa ibu kami yang berbeda. Dan keadaan itu ternyata berlanjut selama dua tahun itu. Kak Adit saat itu bilang, kalau aku kurang membuka diri, sedangkan akuk yang telah terkurung dalam keadaan itu merasa sulit untuk keluar. Karena sebagian teman kerjakupun sudah mengenal aku sebagai pribadi yang pendiam dan selalu sendiri."

"Kak Adit.." Isya meletakkan jari telunjuknya pada bibir Laras, Isya merasa sesak di hatinya melihat Laras yang bercerita dengan pandangan yang menerawang entah kemana, namun jelas terlihat kesedihan di dalam matanya. "Sudah ya?" Adit kembali meminta Laras berhenti, akhirnya Laras mengangguk dan kembali tersenyum pada Isya. Meski Isya tau ada sesuatu hal yang terpancar dari pandangan Laras, namun tak ayal Isya tetap ikut tersenyum pada Laras.

"Kak Adit adalah satu yang membuatku cukup kuat saat ini, dan aku berharap mas dapat menjadi satu yang lain yang menjadikan aku kuat dan aku dapat kembali seperti sedia kala." Isya tersenyum dan mengamini apa yang di ucapkan Laras, meski sampai saat ini Isya belum dapat menyimpulkan apapun tentang kalimat 'kembali seperti sedia kala' namun Isya berharap apapun itu tidak akan mengganggu hubungan yang tengah mereka jalani. Dan Isya berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia akan tetap berusaha memberikan kesabaran yang Laras butuhkan untuk memperkuat apa yang telah mereka usahakan selama ini.

"Mas lusa ke Jakarta untuk hadir ke acara pernikahan sahabat mas waktu kuliah, adek yakin ga ingin ikut mas?"

Laras memandang dalam pada tatapan Isya, dan akhirnya menggeleng "Ade ga bisa nemenin mas karena ada pekerjaan. Maaf" Jawab Laras dengan penuh penyesalan.

"Bukan masalah, sekarang adek istirahat dan besok sore mas langsung berangkat ke Jakarta. Jangan lupa kabari Kirana, mobilnya mas bawa." Isya bangkit dari duduknya dan bersiap pulang.

"Hati-hati di rumah" Ucap Isya dan mengecup keninng Laras " Mas pulang, Asslamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam"

=== Bdg, 040517 ===

My Sick...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang