Sembilan Belas

54 2 0
                                    

"Dok, Ada yang ingin bertemu?" Sapa suara di balik telpon yang ada di meja kerja Dokter Adit

"Siapa?"

"Keluarga Dinda dok."

"Izinkan mereka masuk"

Sekitar lima menit terputusnya sambungan telpon tersebut, pintu mulai di ketuk dan tanpa menunggu lama Dokter Adit mengizinkan mereka masuk dan duduk.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Dokter Adit pada dua pasang manusia yang ada di hadapannya.

"Kami ini bertemu dengan Dinda, tapi pihak rumah sakit tidak mengijinkan kami betemu dengannya." Jawab seorang laki-laki paruh baya, Doni Ayah kandung dari Dinda.

Kak Adit nematap ke empat orang yangn kini nampak menanti jawaban dari Kak Adit. Setelah menarik nafas dalam akhirnya Kak Adit mencoba memberi jawaban yang tidak mengecewakan mereka.

"Kalian pasti tau siapa yang menangani putri kalian disini?" yang di tanya secara serempak mennganggukkan kepalanya. "Saya tidak berani melangkahi wewenang Dokter Kiran, apalagi saat ini Dokter Kiran memberikan peringatan pada pihak keamanan untuk tidak mengizinkan siapapun menjenguknya." Dokter Adit kembali mencoba menjelaskan dengan tenang "Di tambah hari ini Dokter Kiran tidak ada jadwal kunjungan kesini dan kemungkinan sampai akhir minggu ini Dokter Kiran tidak akan datang, karena akhir minggu ini Dokter Kiran ada seminar di Jakarta. Saya minta maaf tidak dapat membantu kalian." Dokter Adit menutup kalimatnya dengan kata maaf.

"Tapi kami keluarganya, bahkan saya ibu kandungnya Dok." Ibu Desi bicara dengan keras.

"Saya tidak menyangkal hal tersebut dan saya juga tau. Tapi sekali lagi saya tidak bisa melangkahi Dokter Kiran. Lagipula untuk sekedar mengingatkan saya, pada pertemuan terakhir anda kesini Dinda justru histeris dan akhirnya hanya Dokter Kiran yang dapat menenangkannya." Dokter Adit kembali menjawab dengan tenang. "Saya tidak mengatakan hal tersebut karena anda, saya hanya mengantisipasi saja kalau-kalau hal tersebut terjadi lagi dan Dokter Kiran tidak ada, siapa yang akan menenangkan Dinda?" Dokter Adit kembali menjawab, saat melihat raut wajah Bu Desi yang kurang menyenangkan. Sebagai Dokter yang menangani masalah kejiwaan, tentu bukan hal yang sulit untuk dokter Adit menjawa emosinya dan memahami lawan bicaranya hanya melalui gerak dan juga raut wajah lawan bicaranya.

"Saya harap kalian mengerti dan ini juga kami lakukan demi kesehatan Putri anda, dan jika tidak ada yang perlu di bicarakan lagi saya harap kalian bisa keluar karena saya masih harus berkeliling untuk mengawasi pasien-pasien saya." Dokter Adit berdiri dari sofa tamunya dan kembali ke meja kerjanya.

Meski kesal dan marah ke empat orang tersebut akhirnya pergi dari ruangan tersebut tanpa mau mengucapkan permisi maupun terimakasih.

====

"Mas Isya" Suara Bi Isah mengagetkan Isya yang tengah asyik membaca buku di perpustakaan rumah Kirana.

"Iya bi, ada apa?"

"Kalau Mas mau makan siang, makanannya sudah siap di meja makan."

"Owh" Isya berdiri dari tempatnya dan menghampiri Bi Isah "Apa Laras sudah bangun Bi?"

"ehmm.. Anu mas, duh gimana ya" Bi Isah menjawab terbata karena tak tau harus menjawab apa

"Ada apa bi?" Isya mulai mengernyitkan dahinya bingung

"ehmm anu, Mbaknya kalau habis marah-marah seperti itu biasanya butuh waktu tidur panjang. Mungkin baru nanti sore akan bangun"

"Koq bisa bi?"

"Kata Mas Adit sih, jangan di bangunin biar puas tidurnya kalau bukan karena kejadian-kejadian kaya gitu mbaknya suka susah tidur mas. Gitu." Jawab Bi Isah sekenanya

"Owh.. Ya Sudah, ayo saya sudah lapar." Isya akhirnya mengakhiri perbincangannya dan menuju tempat makan. Meski masih menyimpan rasa aneh dan penasaran tapi dia memutuskan akan bertanya pada Kak Adit atau Leca saja nanti.

Setelah menyelesaikan makan siangnya, Isya memutuskan untuk sholat dan tidur siang karena dia sendiri bingung akan melakukan apa di rumah yang bahkan tuan rumahnya sendiri tidak pernah menemuinya dan lebih fatalnya lagi dia tidak kenal. Dia kembali masuk ke kamar yang semalam dia gunakan, sedangkan pakaian  gantinya dia menggunakan milik Kak Adit yang ternyata ada di lemari di salah satu kamar yang ada di rumah ini.

Isya menikmati membaca di atas ranjang setelah selesai Sholat, dia sengaja membawa sebuah buku yang cukup menarik dirinya untuk di baca sebelum akhirnya dia pulas dalam istirahat siangnya. Keasyikannya membaca sedikit terganggu saat tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk, dari salah satu sahabatnya saat dulu kuliat di Jakarta.

"Ada apa Mian?" Tanya Isya tanpa basa basi

"Salam kek, say hay kek. Nyebelin amat lo !!! " Saut Damian di sebrang sana dan membuat Isya terkikik geli.

"Hehehe... repotnya kalau orang punya hubungan ama ahli bahasa, ampe dalam telpon aja kudu ada aturan tertentu, bentar lagi harus pake bahasa formal sesuai EYD ya bung." Sahut Isya senang. Sahabatnya yang satu ini memang memiliki tunangan seorang sarjana Bahasa, dan tidak jarang dulu dia sering mengeluh karena tunangannya itu komplen dengan kalimat yang dia keluarkan. Ajaib memang :D

"Sialan lo !!! Awas lo kalau lo dateng pas pesta gue ntar gue abisin lo" Balas Damian makin kesal dengan Isya

"PD amat lo. Gue ga mau dateng lo mau apa?"

"Gue pecat jadi sahabat gue lo. Kalau lo ga dateng ke acara gue." Akhir minggu ini, si Ahli bahasa akan sukses menjadi istri sahabatnya yang sableng ini dan mau tidak mau Isya harus melenggang ke Jakarta karena acaranya di adakan disana.

"Gue ga pernah ngelamar jadi sahabat lo we...  :P ngapain pake lo pecat, ngegaji gue aja ga lo."

"Sialan lo. Gue ga mau tau yang penting Lo harus dateng. titik " Dan sambungan telpon pun di putus sepihak oleh Damian.

Persahabatan mereka memang ajaib, meski selalu ribut namun mereka selalu ada untuk satu sama lain. Tanpa terasa ISya mulai merindukan sahabatnya itu.

"Kira-kira Laras mau ga ya di ajak ke Jakarta?" Pikir Isya kemudian, dan tak lama Isyapun terlelap dalam mimpinya

=== Bdg, 160417 ===

My Sick...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang