Bab 14. Yona Rosehalf

277 38 0
                                    

Aku sampai disekolah dan menemukan Rei sedang berjaga di gerbang. Tapi aku tak menuju kesana. Aku malah memilih untuk memarkirkan motorku jauh dari Rei. Aku segera memarkirkan motorku. Aku tidak peduli dengan seragam dan rambutku yang acak-acakan. Yang kupikirkan hanya satu. Keselamatan Nisa.

Aku berjalan menuju bangunan sekolah dengan langkah panik. Aku berkeliling ke sana-kemari. Mulai dari kelas Nisa, kantin, bahkan aku ke lantai kelas 12. Tinggal satu tempat yang belum kudatangi. Gudang Belakang.

Kuputuskan untuk kesana sambil menyiagakan ponselku. Kalau-kalau Rei menelepon.

Aku sampai didepan gudang tersebut. Gudang itu terlihat menyeramkan dan suram karena tak pernah terpakai lagi. Suasana ditempat ini juga gelap karena pagar yang menjulang tinggi sehingga menutupi cahaya matahari.

Aku melangkahkan kaki mendekati gudang tersebut. Kusentuh gagang pintunya dan kudorong pelan. Seketika itu juga terlihat seseorang sedang mencambuki seorang gadis yang tengah menangis. Tangan gadis tersebut diikat kebelakang sementara mulutnya dilakban agar tak mengeluarkan suara.

Aku menganga ditempat dan baru menyadari bahwa gadis itu adalah Nisa. Cepat-cepat aku menghampiri seseorang yang mencambuk Nisa tadi. Aku tak dapat memastikan dia wanita atau pria karena dia memakai jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Ditambah cahaya yang hanya remang-remang.

Aku baru akan menendangnya saat dia dengan mudah menghindar dan langsung berlari keluar gudang. Baru saja aku akan mengejarnya, kudengar seseorang terjatuh lemas dibelakangku. Nisa pingsan. Dengan cepat aku berusaha melepas ikatan di kakinya dan itu sangat sulit. Lilitannya sangat-sangat rumit. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Nisa agar dia sadar. Namun tak berhasil.

"AAAAAA!!!" teriak seseorang dibelakangku. Aku menoleh dan mendapati seorang kakak kelas sedang menatapku dengan mata melotot. Oh ow. Mungkin dia salah paham aku yang melakukan ini. Inilah yang aku takutkan.

Orang-orang mulai datang dan menatap kearahku sama terkejutnya. Mereka mulai berbisik yang tidak-tidak dan melayangkan tatapan merendahkan kearahku. Kulihat Rei, Daren dan Felic menerobos melewati kerumunan. Aku bangkit berdiri dan menatap mereka bertiga dengan mata melotot.

Bu Maya datang dan terkejut. Dia menghampiriku setelah menyuruh Rei menelepon Ambulans dan Polisi. Felic dan Daren mengikuti dibelakangnya.
Aku menatap mereka dengan wajah datar kelewat santai. Aku juga awalnya terkejut namun aku tahu bahwa ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat.

"Ada apa ini Yona?" Tanya Bu Maya dengan nada geram di suaranya. Aku menggeleng sebagai jawaban.

Tidak lama Rei datang. "Saya sudah menghubungi ambulans dan kepolisian, bu." Ucap Rei pada Bu Maya. "Kita sebaiknya membicarakan ini di ruang Osis setelah ambulans datang dan membawa Nisa."

Semua orang mengangguk kecuali aku dan Rei. Aku hanya menatap Rei tanpa minat sementara dia menatapku dengan tatapan meminta penjelasan.

Tidak lama kemudian, ambulans dan polisi datang. Mereka membawa Nisa ke rumah sakit terdekat. Setelah memberikan penjelasan pada para polisi tersebut--tentu saja minus aku yang dituduh--mereka langsung pergi dari sekolah ini.

"Ayo ke ruang Osis!" Ucap Bu Maya sambil berjalan mendahului kami semua. Tanpa memandang kearah tiga orang disampingku ini, aku melangkah mengikuti Bu Maya. Pikiranku melayang-layang. Apa mereka akan memercayaiku? Atau mereka juga akan menyalahkanku sama seperti yang lain.

Kami sampai di depan ruang Osis. Bu Maya masuk pertama lalu diikuti oleh kami semua. Setelah semuanya duduk dengan tenang Bu Maya bersuara. "Jadi Yona, bisa kau jelaskan kenapa kau berada di tempat itu?"

"Jika saya bercerita jujur, apa mungkin kalian akan percaya?" Tanyaku.

"Ceritakan dulu saja!" Bu Maya terlihat mulai marah.

Aku mengangguk kemudian mulai bercerita. Setelah selesai aku memandang semua orang di ruangan itu. "Bagaimana?"

"Saya tidak mengerti lagi dengan kamu Yona. Saya tidak bisa membedakan kamu jujur atau tidak." Ucap Bu Maya frustasi sambil melangkah keluar ruang Osis. Aku hanya menghembuskan nafas pelan dan mengangkat wajah kearah tiga orang yang belum beranjak dari kursinya.

"Kenapa lo gak nyamperin gue digerbang?" Tanya Rei dengan mata tajam.

Aku menatap Rei datar. "Gue nggak mau buang-buang waktu cuma buat ngobrol nggak jelas karena dari wajah lo waktu itu, udah dipastiin lo nggak ngeliat Nisa."

"Tapi sekarang lo nggak punya alibi apa-apa." Ucap Rei lagi.

"Ada. Gue keliling sekolah dari kelas ke kelas dan gue yakin pasti dalam satu kelas ada murid yang liat gue dikelas mereka..." ucapku. "...tapi gue nggak yakin mereka mau bersaksi buat gue."

"Tapi beneran bukan lo, kan?" Tanya Felic dengan wajah curiga yang minta kujotos.

"Jadi gak percaya sama gue? Ok. Gue tau gue bandel. Hobi tawuran. Tapi buat nyakitin orang gak bersalah gue juga gak mampu." Ucapku sambil tersenyum sinis. "Gue bisa urus diri gue sendiri. Kalo kalian nggak percaya sama gue, nggak usah dipaksain ntar kesannya MUNAFIK."

Aku bangkit berdiri dan meninggalkan ruang Osis dengan langkah tergesa-gesa. Aku bukan wanita buta. Aku melihat tatapan curiga dan tak percaya dimata mereka terpampang nyata. Lalu aku harus apalagi? Berpura-pura tak tahu?

Baru juga keluar dari gedung sekolah. Kurasakan sebuah benda mengenai kepalaku. Benda yang berbau amis. Telur. Dan rentetan telur serta terigu terlempar kearahku. Dan tak lupa seruan-seruan kurang ajar dari mulut-mulut pedas mereka.

"Dasar pembunuh."

"Tak tahu malu."

"Dia kira masih bisa sok-sokan jadi bos disekolah ini?"

"Gitu tuh kalo nggak di didik orang tua."

Dan masih banyak lagi. Aku marah. Aku kesal. Aku benci. Tapi apalah aku. Aku hanya seorang diri. Yah.. kuakui aku rapuh. Aku lemah. Tapi tak bisakah mereka membantuku bangkit? Bukannya malah semakin mendorongku jatuh. Aku melihat kebelakang. Kulihat Rei, Daren, dan Felic hanya menatapku kasihan tanpa niat untuk membantu. Tentu saja. Mengapa mereka mau membantu seseorang yang mereka anggap pembunuh?

"Yona.." ucap Keysha lirih sambil berjalan mendekatiku. Tapi aku malah memilih mundur. Keysha berhenti dan menatapku iba. Tatapan yang sangat kubenci.

Orang-orang kembali melemparkanku benda-benda laknat itu. Aku menutup mata bersiap menerima hantaman benda tersebut. Tapi tak kunjung kurasakan satu benda pun menghantamku. Aku membuka mata perlahan dan melihat barisan orang dengan terigu dan telur mengotori pakaian mereka sedang berbaris sebagai benteng dihadapanku.

Mereka?

Mereka adalah anak buahku yang kebetulan bersekolah disini. Teman-temanku menghadapi perkelahian. Apa mereka segitu setianya? Bahkan Alex pentolan sekolah ini ikut membantuku?

"PERGI LO SEMUA! DASAR GAK GUNA. PERGI SEBELUM GUE TONJOK!!" langsung saja mereka ngacir setelah mendengar suara menggelegar dari si pentolan sekolah. Aku menatap mereka dengan tatapan tak percaya.

"Santai bos. Kita percaya kok sama lo!" Ucap salah satu dari mereka. Namanya Putra.

"Kotor-kotoran gini mah kita udah biasa. Ya kan?" Ucap Juna--salah satu babuku--meminta persetujuan yang lain. Dan diangguki dengan semangat.

"Yoi. Lo nyantai aja. Kita siap bantu lo. Apalagi nonjok. Dah lama ini tangan gak nonjok orang." ucap Alex sambil tertawa.

Aku tersenyum tipis menatap mereka. "Thanks guys."

"Yuk ah cabut. Udah terlanjur kotor gini juga." Ucap Bimo. Laki-laki botak disampingku. Aku dan yang lain mengangguk dan langsung pergi dari tempat laknat ini.

Yah.. apapun yang terjadi. Pasti ada hikmah dibaliknya. Dan disitulah kita dapat belajar dari pengalaman.

----------

Woah.. jahat bener tuh cecunguk tiga😖😖
Tapi tenang. Masih banyak kejutan lain. So stay tune yah..

Tsarwa Vania

Behind The Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang