Bab 15. Felicia Carvel

271 33 0
                                    

Aku sedang duduk diteras rumah memikirkan kebodohanku. Dihadapanku kini ada setoples besar kentang goreng. Yah.. setiap aku merasa banyak fikiran aku pasti akan memakan kentang goreng sebagai pelampiasanku. Walaupun kentang ini tak ada rasanya dimulutku.

"Felic bodoh. Tega banget lo sama Yona. Bodoh! Bodoh!" Gumamku sambil memukul kepalaku sendiri.

Tiba-tiba ada tangan yang menghalagi tanganku. Aku mendongak dan mendapatkan Daren sedang menatapku. Dia menjatuhkan diri di kursi disampingku. Dia terlihat sangat tampan dengan kemeja kotak-kotaknya. Kurasa dia adalah titisan seorang malaikat. Tapi itu tentu saja tidak mungkin.

"Ngapain kesini?" Ucapku.

Daren mengangkat bahu. "Entah. Gak ada kerjaan aja."

Aku menggumamkan huruf O. Lalu kembali ke rutinitas melamunku yang sempat terputus tadi. Sumpah serapah kuucapkan pada diriku sendiri. Tentu saja dalam hati.

"Lo kenapa?" Tanya Daren setelah berdiam lama. Lamunanku buyar dan dengan cepat menoleh kearah Daren. Dan yang membuatku terkejut adalah wajahnya yang sangat dekat denganku.

Aku melotot dan berdeham mengembalikan kesadaranku. Setelah kesadaranku kembali aku menjauhkan kepalaku menciptakan jarak. Karena jika tidak jantungku tidak akan kuat menahan debarannya.

"Nggak. Cuma kepikiran yang beberapa hari lalu. Gue merasa bersalah banget. Gue rasa, gue bukan temen yang baik." Ucapku sambil menunduk. Aku menghela nafas panjang saat mengingat kejadian dimana Yona merasa tidak dipercayai, dituduh bahkan dibully. Aku merasa benar-benar jahat.

"Gue juga gitu. Tapi kita nggak boleh selalu terpuruk. Kita harus minta maaf sama Yona. Gue yakin Yona itu baik." Balas Daren.

"Tapi kita jahat banget. Dia cuma butuh satu uluran tangan. Tapi kita? Kita malah seakan-akan menuduh dia." Ucapku dengan suara serak dan mata berkaca-kaca. Aku merasa benar-benar jahat.

"Yona pasti bisa ngerti. Lo tenang aja. Dia bukan cewek jahat." Ucap Daren pelan. "Kita juga harus mengulurkan tangan kita. Bantu dia. Beri semangat."

Aku menatap Daren lama. Begitu juga dia. Untuk beberapa saat hanya ada keheningan di sekitar kami. Sampai aku perlahan tersadar dan mulai tersenyum.

"Makasih. Lo bikin gue baikan." Ucapku tulus.

"Santai. Gue selalu ada buat lo. Gimana kalo kita jalan-jalan?" Tanya Daren tiba-tiba. Aku melotot lalu menggeleng tegas.

"Nggak. Nggak mood."

"Ayolah.. kita refreshing. Siapa tau dijalan kita ketemu Yona yang udah 2 hari ini nggak masuk sekolah." Ucapnya mencoba membujukku. Yona sudah tidak masuk sekolah selama 2 hari. Karena penawarannya cukup menggiurkan, aku mengangguk.

"Bentar, gue ganti baju dulu." Aku langsung bangkit dari dudukku dan berjalan kekamar. Setelah memilih pakaian yang pas, aku segera mengambil tas kecilku dan memasukkan dompet serta ponselku. Setelah siap aku langsung melesat kembali ke teras.

"Ayo!" Ucap Daren saat aku sudah berada di hadapannya. Dia langsung menggenggam tanganku dan menarikku keluar pagar. Aku tentu saja terkejut tapi aku juga tak menepis tangannya karena jika boleh jujur, ini membuatku nyaman dan sedikit bebanku terangkat.

Di luar gerbang kulihat mobil hitam terparkir dengan indahnya. Dia lalu membukakan pintu penumpang untukku. Aku tersenyum lalu masuk kedalam. Daren memutari mobilnya dan masuk ke kursi pengemudi disampingku. Tidak lama mobil mulai berjalan.

Untuk beberapa saat hanya keheningan yang mengisi. Hingga aku ingat aku belum mengabari Mama yang belum pulang dari tokonya. Ya.. Mama mempunyai usaha toko kue. Cepat-cepat aku mencari ponselku dan mengirim pesan pada Mama. Setelah pesan itu terkirim aku menghembuskan nafas lega.

Behind The Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang