Part Sixteen - The Truth (Ariel)

9K 707 4
                                    

Aku duduk cukup lama didepan beranda rumahku sebelum aku pergi kerumah Liza. Ada sesuatu yang mengganjal didalam diriku, yang menghambatku untukku pergi kerumah Liza. Kalau Brigitta berada disini, apakah yang bakal dia katakan padaku? Apakah dia memperbolehkanku pergi atau tetap tinggal dirumah? Disaat-saat seperti ini, kemana Brigitta pergi? Aku benar-benar membutuhkan pendapatnya sekarang.

“Kau masih disini, Ariel?” Bibi Arianne keluar dari rumah dengan pakaian formal. “Bukankah setengah jam yang lalu kau bilang mau pergi kerumah temanmu?”

“Ya. Aku pergi sekarang,” jawabku berdiri dari tempat dudukku. “Kau mau kuantar ketempat wawancaramu?”

“Ke restaurant Sherlotta.”

Aku membawa trukku kepusat kota, menuju restuarant Sherlotta. Sebelum aku menurunkan Bibi Arianne, aku merangkulnya pelan. Entah darimana aku dapat perasaan ini, namun aku harus mengatakannya: “Kalau aku tidak pulang hari ini, jangan khawatir. Aku bakal baik-baik saja.”

“Apa yang kau bicarakan, Ariel? Kau harus pulang hari ini. Aku bakal membuatkan makanan yang enak untuk kita kalau aku diterima kerja.”

Aku berusaha tersenyum didepannya dan Bibi Arianne membalas senyumanku. Dia turun dari truk dan masuk kedalam restaurant Sherlotta. Aku tancap gas kerumah Liza yang berada dipinggir hutan. Sudah jam satu siang. Aku melihat rumah Liza dari kejauhan dengan latar belakang hutan yang lebat. Angker. Tapi ini adalah rumah-rumah orang kaya kebanyakan di Luna Wand.

Aku masuk kedalam rumah Liza dan disambut oleh Matthew didepan pintu. “Liza sudah menunggumu diruang kerjanya. Dia bilang banyak yang harus dibicarakan padamu.”

“Maaf aku terlambat. Aku mengantar Ibuku untuk melamar pekerjaan.”

Kami berdua menaiki tangga yang sangat mewah dengan karpet berwarna merah indah. Matthew membawaku kesebuah ruangan besar yang dia sebut ruang kerja Liza. Ruangan ini sangat luas, dengan meja panjang berisi barang-barang mewah. Liza duduk didepan meja itu dengan Edward disampingnya. Mereka tampak sibuk membicarakan sesuatu. Matthew berdehem beberapa kali pada mereka.

Edward dan Liza melihat kami berdua bergantian. Liza dapat mengendalikan situasi dengan baik, dari keterkejutannya melihatku, dia langsung tersenyum padaku dan mempersilahkanku duduk didepannya. Edward tampak kewalahan membawa sekumpulan kertas dan menyimpannya dilemari dibelakang meja Liza.

“Jadi apa yang hendak kau bicarakan padaku?”

“Aku memutuskan untuk mengumpulkan anak dari keluarga terpilih itu.”

“Ide yang bagus. Kita seharusnya membahas ini semua dengan kepala dingin. Semakin cepat kau memanggil mereka, semakin baik.”

“Tidak, tidak. Bukan seperti itu maksudku.”

Aku mencengkram pegangan tanganku pada sisi kursiku. “Apa maksudnya bukan seperti itu?” tanyaku waswas.

“Kita tidak bisa melakukannya dengan kepala dingin, Ariel.”

“Lalu?” Aku memicingkan mataku menatapnya. Dia tersenyum, jenis senyuman yang paling kubenci saat Liza lakukan, jenis senyuman: aku tahu segalanya itu. “Kau tidak boleh nekat melakukan hal-hal yang diluar kendali, Liza.”

“Kita harus melakukannya, Ariel. Kita harus menangkap mereka agar mereka tidak dapat melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan. Salah satu dari mereka adalah orang yang bakal menyulut peperangan ini!”

Aku berdiri dari tempat dudukku, tidak percaya dengan perkataannya barusan. Mukaku memerah karena amarah. “Bagaimana kalau kau yang bakal menyulut semua ini?” teriakku sambil menunjuknya penuh kehinaan. “Aku makin curiga kau yang bakal melakukan semua peperangan ini.” Aku mundur beberapa langkah. Muka Liza tetap datar. Matthew dan Edward maju dari tempat mereka. Aku mengangguk lebih pada diriku sendiri.

“Kau harus tenang, Ariel. Tidak seperti itu. Kau tidak mengerti maksudku.” Liza menatapku cemas tanpa melepaskan pandangannya dariku.

Aku langsung berlari keluar dari ruangan Liza. Seekor elang mengepakkan sayapnya liar didepan pintu ruangan itu. Edward berdiri tepat dibelakangku. “Elang gila!” teriakku sambil melepas salah satu gelangku pada elang itu. Aku berlari secepat mungkin keluar dari ruangan itu. Aku menuruni tangga itu dengan nafas tersengal-sengal. Ketika kakiku hampir mencapai anak tangga terakhir, sebuah asap berwarna hitam menangkap tubuhku, lalu menyelubungiku. Aku yakin aku batuk beberapa saat dan semuanya terasa gelap, seolah-olah asap ini mengandung obat bius.[]

Luna Wand: The Unknown StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang