Part Twenty Seven - Another Dilemma (Meredith)

8.9K 713 24
                                    

Aku bermimpi sangat buruk ketika aku terlelap. Aku melihat Ethan dikalahkan oleh laki-laki berumur tiga puluh tahunan dengan tubuh super besar. Kepala Ethan dipenggal dan dilemparkan pada singa-singa yang kelaparan itu. Bianca dibunuh oleh seorang anak kecil, perutnya dicabik-cabik sampai pada akhrinya dia meninggal. London meninggal dibunuh oleh seorang perempuan bertubuh mungil, seumuran dengan Clairine. Dan yang paling parah, aku melihat Clairine melawan Amadeus dalam peperangan final ini. Clairine langsung meninggal ketika Amadeus menikam kedua mata Clairine dengan dua pisau. Amadeus tertawa bahagia dan tiba-tiba dia melihat kehadiranku, menikam perutku dengan pisau untuk kedua kalinya.

“Meredith!” teriak Ethan membangunkanku. Aku spontan berdiri dari tempat tidurku dan perutku langsung merasa nyeri karenanya. Aku melihat Ethan duduk disampingku, tampak baik-baik saja, hanya tangan kanannya yang terluka dan diperban. Dia tersenyum tipis padaku, aku membalas senyumannya. “Mimpi buruk ya?” tanyanya, aku hanya mengangguk mengiyakannya, lesu kembali ketika Ethan mengingatkanku. “Kau baik-baik saja sekarang, dan aku yakin kau akan selamat dalam ronde selanjutnya dan aku yakin kita bertiga akan baik-baik saja.”

“Dimana Bianca?” tanyaku.

“Dia belum bertanding,” jawab Ethan. “Aku dibawa kesini karena tanganku mengalami pendarahan hebat, tetapi semuanya tampak terkendali,” katanya sambil menggoyang-goyangkan tangannya.

“Aku takut sesuatu bakal terjadi pada Clairine.”

“Clairine akan baik-baik saja,” ujar Ethan menenangkanku, berdiri dari tempat duduknya dan duduk diatas tempat tidurku. Dia melingkarkan lengannya pada leherku, membuatku merasa aman. “Kita akan membuat rencana agar kita bisa kabur dari sini.”

“Aku takut kita tidak bisa kabur,” gumamku.

“Kita sudah selamat dari kematian satu kali, Meredith. Kita pasti bisa melakukannya lagi,” jawab Ethan. “Lalu kita kabur dari sini dan pergi ke tempat yang aman.”

“Apakah kau yakin masih ada tempat aman didunia ini?”

Ethan mengangkat bahunya, lalu terdiam beberapa saat, tangannya yang melingkari leherku memegang tangan kiriku dan menggenggamnya erat. “Selama kita bersama-sama, aku yakin kita baik-baik saja.” Dia menatapku sangat tulus pada saat itu. Aku dapat merasakan ketertarikan yang begitu dalam padanya. Lalu, kepalanya bergerak mendekatiku, dan aku yakin jantungku berdebar sangat kencang sekarang. Dia mencium dahiku, lalu menatap mataku, membuatku terhipnotis sekian kali pada mata berwarna pirusnya itu. Bibir kami hendak bersentuhan, tetapi seseorang menginterupsi kami.

Ethan langsung menarik wajahnya dengan cepat dariku, dan melihat seseorang memasuki ruangan kami dengan kaki berlumuran darah. Laki-laki itu meringis lebar dan berkata: “Aku tidak melihat apapun, lanjutkan saja.”

Aku dan Ethan spontan tertawa bersama-sama. Aku benar-benar malu sekarang, wajahku benar-benar terbakar karena rasa malu ini. Ethan menarik tangannya dariku dan berdiri dari tempat tidurku, tampak salah tingkah. Aku berusaha berdiri dari tempat tidurku, aku merasa lebih baikan sekarang. Ethan membantuku turun dari tempat tidurku. “Ayo kembali,” ajakku. Ethan tersenyum tipis padaku dan menggenggam tanganku, menuntunku keruang persenjataan lagi.

Sesampainya disana, kami melihat dua orang tersisa sedang berdiri tepat dibelakang jeruji besi, tampak melihat dengan kagum pertandingan didepan mereka. Aku berjalan mendekati mereka dengan Ethan. Aku melihat Bianca sedang bertarung dengan anak laki-laki berumur tiga belas tahunan.  Siku Bianca terluka, mengeluarkan darah segar, tetapi dilain sisi, anak laki-laki itu tampak mengerikan, tangan kanannya memperlihatkan sayatan dari telapak tangan sampai pergelangan tangannya. Mereka masih berada dikurungan kedua, dan suasana sudah setegang itu. Anak laki-laki itu berlari mengangkat tombaknya diatasnya. Bianca yang berada didepannya juga berlari, lalu melompat dan mengapit tongkat tombak itu dengan kedua kakinya, lalu memutarnya hingga anak kecil itu ikut berputar dan terjatuh. Bianca melemparkan tombak itu sejauh mungkin dan melihat anak kecil itu sudah kehabisan nafas, berlutut ditengah-tengah padang pasir. Bianca membuat kuda-kuda untuk menyerang kembali. Dia berlari sekeras mungkin sambil berteriak keras, membawa pedangnya dengan cara yang ganjil, menghadap kebelakang dan mengarah ke pergelangan tangannya. Dia berlari nyaris terlalu cepat, membuatku tidak mengetahui apa yang terjadi selanjutnya, yang kulihat hanyalah Bianca berhenti berlari tepat dibelakang anak kecil itu, dan anak kecil itu melolong kesakitan, darah dari leher mengucur sangat deras dan beberapa detik kemudian dia terjatuh tak bernyawa. Bianca berdiri ditempatnya, mengatur nafasnya. Semua orang bersorak padanya, seakan-akan menikmati pertandingan ini. Bianca berjalan sekuat mungkin keluar dari arena pertandingan sambil menjilat darah yang masih keluar dari siku tangannya.

Luna Wand: The Unknown StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang