Part Twenty - Without Mercy (Ariel)

8.9K 716 5
                                    

Kita bertiga dikurung dikamar yang sama saat aku pingsan. Diluar sana ada tiga laki-laki berjas hitam yang menjaga kita. Aku dan Joe berhasil menceritakan semua yang bisa kita ceritakan pada Bibi Arianne semalaman. Aku juga menceritakan semuanya, tentang Ras Luna, perang brutal yang bakal terjadi karena Elizabeth Night.

Joe tampak gusar duduk didekat jendela. Matanya menatap kelangit dan aku dapat melihat cuaca berubah-ubah terus. Dia bilang dia melakukan itu untuk memberitahu semua orang kalau keadaan di Luna Wand tidak baik. Dia terus mengubah cuaca dari mendung, menjadi hujan, dan kembali panas lagi. Dia melakukannya berulang kali.

“Kita harus kabur dari sini untuk memberitahu semua orang.”

“Kita sudah coba tadi malam. Lihat apa hasilnya?” Joe memperlihatkan pipi kanannya yang lebam. “Aku khawatir dengan keadaan Ayahku. Pasti sekarang dia sangat cemas mencari kita bertiga.”

Aku menggigit bibirku. Aku berusaha mencari ide untuk dapat kabur dari sini. Hantu laki-laki tua itu sudah tidak ada sekarang. Aku tidak menemukan hantu apapun disini. Aku tidak dapat merasakan mereka. Dalam hatiku, aku memanggil Brigitta. Aku benar-benar butuh bantuannya sekarang. Aku benar-benar membutuhkannya sekarang.

“Aku akan mengambil perhatian mereka dan kau bantu Bibi Arianne untuk kabur dari sini,” kataku menatap Joe ragu. “Aku bakal pura-pura ketoilet. Kau habisi satu laki-laki yang lain.”

“Bagaimana denganmu?” tanya Joe.

“Itu tidak penting sekarang. Aku yang membuat kalian terjebak didalam sini. Setidaknya kalian bisa bebas dan menyuruh seluruh masyarakat Luna Wand untuk pergi dari sini. Segera.”

“Ariel...”

“Aku mohon pada kalian berdua,” pintaku. “Satu kali ini saja... Aku yang membuat kalian masuk kedalam sini dan paling tidak aku bisa membebaskan kalian berdua.”

“Kalau itu maumu.” Joe memegang pundakku keras. Dia menatapku penuh tekad. “Ketika aku berhasil kabur dari sini, aku bakal memanggil bantuan untuk menolongmu.”

Aku tersenyum seberani mungkin, menatapnya tanpa rasa takut. Aku merangkul Bibi Arianne dan Joe sekali. Aku merasa aku tidak bakal bertemu mereka lagi dalam waktu yang lama. Tapi ini satu-satunya cara, kan? Aku mengetuk pintu dan berkata pada mereka bahwa aku ingin pergi ke toilet. Mereka membukakanku pintu dan salah satu dari mereka memegang kedua tanganku, menuntunku pergi ke toilet.

Aku terus menunduk sepanjang perjalananku, melewati jalan yang ternyata lebih panjang dari yang kukira. Laki-laki berjas hitam itu berhenti dan aku hampir terjatuh karenanya. Aku melihat kedepan, dua orang perempuan remaja berlari beriringan masuk kedalam ruangan yang lain.

Aku meninju perut laki-laki itu dan berlari mengejar dua perempuan itu. Kalau aku tidak salah lihat, itu pasti Meredith Boone dan Bianca Kajiwara. Sebuah harapan muncul didalam diriku. Apakah mungkin mereka juga tahu rencana Elizabeth Night? Aku berlari mengejar mereka, menuruni tangga yang cukup panjang itu. Aku berteriak memanggil nama mereka, namun bibirku bergetar terlalu hebat untuk melakukannya. Suaraku seolah-olah habis diwaktu yang salah.

Seseorang melayang tepat diatasku lalu menindihiku. Kepalaku terbentur salah satu anak tangga dan aku yakin tulang punggungku hancur sekarang. Aku hampir tidak dapat merasakan punggungku lagi. Laki-laki berjas hitam yang tadi menuntunku ketoilet itu mengunci kedua tanganku.

“Brengsek!” teriakku berusaha menahan rasa sakitku. “Tolong!” teriakku sekeras mungkin, lalu tangan hitam laki-laki itu menutup mulutku, membuatku kehabisan nafas.

“Lebih baik kau mengikuti perintahku kalau tidak mau temanmu dan bibimu itu tersiksa hingga mereka meninggal. Kau mengerti?”

Aku mengangguk pasrah.

Laki-laki berjas hitam itu akhirnya berdiri dari tempatnya dan aku bisa bernafas lega. Dia memaksaku untuk berdiri, membuat tulangku berbunyi keras dan aku hanya dapat meringis kesakitan. Dia menarik tanganku untuk naik kembali. Aku menoleh kebelakang. Apakah mereka masih berada disana? Apa mereka dengar jeritanku? Aku ingin melawan laki-laki didepanku ini. Aku masih mempunya kemampuan untuk membuatnya pingsan, paling tidak. Tapi bagaimana dengan Bibi Arianne dan Joe?

Seharusnya mereka sudah kabur. Laki-laki itu hanya menggertakku. Aku memegang tangannya dengan kedua tanganku makin erat, lalu menendang punggungnya hingga terjatuh dengan satu tangan terangkat keatas. Aku dapat mendengar suara tulangnya yang patah. Dia merintih keskaitan dan aku segera berlari menuruni tangga itu lagi.

Aku membuka pintu tangga itu dan melihat ruangan luas dengan sedikit barang. Aku berlari kedepan meja, melihat sebuah kertas kecil terjatuh dari atas meja. Aku memungut kertas itu. Nota pembelian bahan peledak!

Aku segera berlari keluar dari pintu itu, yang menyambung kesebuah dapur. Aku langsung menggapai pintu berlumut didepan dapur. Jalan keluar! Aku melihat sebuah mobil yang bersembunyi dibalik hutan berlari dengan kecepatan penuh. Aku berlari mengejar mobil itu sambil berteriak meminta pertolongan.

Entahlah berapa lama aku berlari. Pandangan mataku mulai buram. Aku kecapekan. Badanku terasa benar-benar sakit sekarang. Mobil itu sudah tidak terlihat lagi, lalu beberapa saat kemudian digantikan oleh mobil sedan hitam milik keluarga Night. Aku berhenti berlari, menyerah. Elizabeth Night keluar dari salah satu mobil dengan wajah kaget. Dia menarik rambutku, seperti yang kulakukan pada Bianca sebelumnya, menyuruhku masuk kedalam mobilnya.

“Bagaimana kau bisa kabur lagi!” teriaknya marah.

“Kau pikir kau siapa bisa menahanku didalam rumahmu?” bentakku. “Aku tidak bakal kalah darimu!”

Dia mendengus kesal. “Sepertinya aku benar-benar tidak bisa meremehkanmu. Tetapi kau bakal kalah dariku. Kau bakal meninggal dengan cara paling tersiksa yang bisa kau bayangkan!”

Aku mengumpulkan air liur dimulutku, lalu membuangnya tepat diwajah Liza. Dia memejamkan matanya beberapa saat, berusaha untuk mengontrol emosinya. Liza mengambil tissue dan mengelap wajahnya, lalu menatapku dengan tajam. “Kalau kau mau bermain kasar. Aku juga bisa,” desisnya sambil menarik rambutku dengan kencang.

“Mereka semua bakal mengalahkan. Keluarga yang lain bakal mengalahkanmu,” kataku penuh tekad. Aku percaya pada mereka.[]

Luna Wand: The Unknown StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang