Kami sudah menunggu dihutan dekat pemakaman Luna Wand sekitar setengah jam ketika tiba-tiba Clairine mendekati Bianca yang duduk lemas didepan sebuah pohon. Bianca menatap Clairine dengan lesu, lalu mempersilahkannya untuk duduk disampingnya. Clairine memegang tangan Bianca dengan lembut, membuat Bianca mengerling padaku. Aku hanya mengangkat bahuku tidak mengerti.
“Aku melihatnya saat bunyi senapan tadi berbunyi,” kata Clairine pelan, membuat bulu romaku menegang, menajamkan kupingku tetapi berusaha untuk tidak melihat mereka berdua. “Aku hanya melihat peristiwa itu samar-samar dan aku tidak ingin memberitahumu karena aku takut penglihatanku itu salah,” tambahnya pelan.
“Apa yang kau lihat?” tanya Bianca, memegang kedua tangan Clairine dengan erat.
“Aku melihat gerombolan kak Tyler berlari keluar dari tempat itu lewat rumah yang kita tinggali kemarin. Mereka lari secepat mungkin, paling tidak ada sekitar lima belas laki-laki berjas hitam mengejar mereka. Lalu, yang kulihat selanjutnya adalah kak Tyler ditembak oleh salah satu laki-laki berjas hitam itu. Posisinya pada saat itu berada dipaling belakang, dan yang tertembak adalah pundak bagian atasnya, sebelah kiri.”
Dunia Bianca tampak runtuh dalam sekejap. Aku menekan dadaku ketika merasakan emosinya yang benar-benar peka saat itu. Aku dapat merasakan rasa sedih, ketakutan, putus asa, dan hancur berkeping-keping dalam sekejap. Aku ingin menangis ketika merasakan emosinya, namun aku tahu saat ini bukan waktuku, namun waktu Bianca. Aku memberi isyarat pada Clairine untuk memberi ruangan pada Bianca. Clairine berjalan pelan menghampiriku, duduk disampingku dan menyandarkan tubuhnya ketubuhku. Bianca merapatkan lututnya ketubuhnya, dia mulai menangis tersedu-sedu. Aku mendengar dia bergumam tidak jelas beberapa kali, mengeluarkan isi hatinya yang mungkin sudah lama terpendam. Ketika aku melihat itu, aku merasa tidak tega, aku ingin sekali membantunya, tetapi aku tahu harus tetap diam ditempat.
“Hei, kenapa kau menangis?” Aku mendongkak ketika mendengar suara itu, masih setengah tidak percaya, menatap Tyler dengan wajah pucat tetapi seringainya tampak lebar menatap Bianca. “Apakah terjadi sesuatu pada kalian bertiga?” tanyanya mengedarkan pandangannya padaku, dan Clairine bergantian.
“Tyler?” Bianca mengangkat wajahnya tidak percaya, posisinya sama sekali tidak berubah. “Kau tidak apa-apa?”
“Mungkin penglihatanku salah,” sela Clairine masih menatap bingung pada Tyler.
Tyler tersenyum tipis, bergerak perlahan menghampiri Bianca dan duduk disampingnya. Dia menarik dengan halus wajah Bianca dan menyandarkannya dipundaknya. Dia tersenyum senang sambil memejamkan matanya, seakan-akan dia sangat bersyukur masih dapat melakukan hal semacam itu.
“Kau tampak benar-benar pucat,” kata Bianca kemudian sambil mendongkak menatap wajah Tyler yang pucat. “Kau benar-benar tidak apa-apa?” tanyanya sambil menarik tubuhnya dari Tyler tampak tidak nyaman, lalu melihat lengkan kanannya sudah dipenuhi darah. Dia terbelalak kaget menatap darah itu. Lalu, dia mendorong tubuh Tyler pelan kedepan, melihat darah sudah membahasi hampir seluruh baju bagian belakang Tyler.
“Apakah kau tahu satu-satunya alasan aku bisa sampai disini tanpa minta bantuan yang lain?” tanya Tyler kemudian, membuka matanya lemah dan menatap lurus kemata Bianca. Dia menunjuk Bianca sambil tersenyum.
“Ki... kita bisa pergi kerumah sakit sekarang. Kau akan baik-baik saja. Sungguh!” kata Bianca panik, berdiri dari tempat duduknya dan berusaha untuk menarik Tyler untuk berdiri, tetapi Tyler menahan tangan Bianca, menatapnya lemas, dan memberi isyarat pada Bianca agar tetap duduk disampingnya. Bianca hendak menolak permintaan Tyler, tetapi ketika melihat wajah sedih Tyler, dia melunak dan kembali ketempatnya.
“Apakah kau tahu kenapa aku membatalkan niatku untuk meninggal disekolah pada waktu itu?” tanya Tyler beberapa saat kemudian. Bianca menggeleng pelan, kaku ditempatnya tidak bisa bersuara. “Itu karena pada malam sebelumnya aku bermimpi meninggal. Namun aku senang dengan mimpiku itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna Wand: The Unknown Story
AventuraMeredith Boone tidak pernah berpikir bahwa hidupnya bakal berubah. seratus delapan puluh derajat. Kematian ayahnya membuatnya diusir dari rumahnya di Paris. Meredith, beserta ketiga adiknya dan Ibunya harus kembali kekampung halaman Ibunya di Amerik...