Bagaimana rasanya saat melihat kacamatamu retak?
"LIHAT, kamu mirip sekali dengan ayahmu, Aries."
Ketika masih kecil, Aries menganggap ucapan tersebut sebagai pujian. Bulan acap kali mengelus wajahnya sembari bergumam atau menyenandungkan beberapa lagu dengan wajah berseri. Lantas saat beranjak remaja, Aries menyadari sesuatu: sang ibu hanya mengucapkan kata-kata tadi saat hendak atau baru betemu pria itu. Ayahnya. Pria yang tidak pernah punya nyali untuk membawa mereka kabur dari rumah keluarga besar Himadri.
Kenapa Aries harus disamakan dengan seorang pengecut?
"Kamu mirip sekali dengan ayahmu, Aries."
Setelah mengatakan kalimat itu, Bulan mengecup keningnya. Di tengah lantunan musik jazz yang sendu, wanita itu berjalan ke arah lemari baju di seberang ruangan dan membukanya untuk mengambil sesuatu. Aries masih diam di tempat; mengamati gerak-gerik sang ibu yang mulai terlihat tak wajar.
Pada detik berikutnya, Bulan membalikan tubuh dengan sebuah pistol di tangan.
"Ma-"
Kejadian berikutnya terjadi cepat sekali-seolah-olah waktu di sekitar mereka melaju berkali-kali lipat; tidak memberi kesempatan apa pun bagi Aries.
Kamu mirip sekali dengan ayahmu...
Aries merasakan bobot tubuhnya ringan seketika. Tiba-tiba saja, dia sudah bersimpuh di atas lantai. Ikut ambruk saat tubuh Bulan jatuh; dengan ceceran darah dan kepalanya yang tak utuh.
"Ma?"
Sosok itu tidak menyahut. Aries tahu, tetapi dia enggan menerima. Sementara lantunan musik jazz masih mengalun di ruangan tersebut, menemaninya dalam kebingungan dan ketidakpastian.
Beberapa jam kemudian, kala ruangan dipenuhi anggota keluarga dan orang-orang tak dikenal, Aries sudah pindah ke kamarnya. Dipaksa pindah, lebih tepatnya. Dia mengusir semua orang yang ingin mencoba menenangkan atau mengorek informasi darinya. Yang Aries butuhkan saat itu hanya dirinya dan kewarasan yang direnggut paksa Bulan bersama sebutir peluru.
Aries lalu menolehkan wajahnya ke arah cermin di samping tempat tidur. Mengamati titik-titik merah yang menempati mata, pipi, dan lengan atasnya.
Kamu...
Matanya membulat. Tidak, Aries tidak mau disamakan dengan pria itu. Harus ada sesuatu yang bisa mengenyahkan pikirannya dari ucapan terakhir sang ibu.
*
"Darn, sori. Nanti gue ganti, oke? Lo punya cadangan?"
Leo serta-merta mengambil kacamata yang kini terbelah menjadi dua dan menaruhnya di atas meja. Kacanya retak. Pemiliknya bergeming; bersandar pada lemari es tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia melihat semuanya-bagaimana Leo tanpa sengaja menyenggol kacamata yang dia taruh di pinggir meja, lalu kakinya menginjak bagian tengah benda tersebut. Bunyi retakannya terekam jelas. Memilukan.
"Aries, serius, gue minta maaf," ujar Leo, mulai panik karena sahabatnya masih mematung. "Kalau lo mau ganti sama yang lebih malah, bakal gue kasih."
"Eh, ada apa?"
Aries mengerjap saat Winona dan Ghina masuk ke dapur. Kemudian, dia menghampiri Leo dan mengambil kacamatanya yang sudah tewas. "Gue pulang dulu."
Dengan cepat, Aries meninggalkan dapur dan berjalan cepat ke arah pintu utama rumah Leo. Winona menyusul tak lama kemudian, tepat sebelum dia membuka pintu mobil.
"Kamu bisa nyetir? Kata Leo-"
"Masuk."
Winona ternganga, tapi tetap mematuhi perintahnya tanpa membantah. Sejujurnya, Aries tidak suka situasi ini. Dia tidak pernah menyangka hari buruk itu akan tiba. Setelah bertahun-tahun menjaga dan menjauhkan kacamatanya dari tragedi, ternyata ia tetap bisa lolos. Benda tersebut kini tergeletak tak berdaya di dasbor seperti seseorang yang sedang sekarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nights with Aries
RomanceAries menyodorkan empat pak pembalut kepada kasir. "Buat istrinya, ya, Mas?" "Iya." Aries punya kehidupan normal dari pukul enam pagi sampai enam sore. Di luar jam itu, ada kisah-kisah tak terduga menantinya setiap malam. *** © 2016 Erlin Natawiria