Bagaimana rasanya pulang ke rumah?
Italians are loud and they're proud of it.Aries meyimpulkannya sejak kali pertama bersemuka dengan keluarga sang ayah di Belluno. Mereka menyambut Aries seolah-olah dia sudah sering berkunjung ke sana. Ada banyak rangkulan, pelukan, hingga ciuman yang Aries terima, sementara dia hanya bisa menanggapi lewat senyuman. Ragam suara dan intonasi saling meningkahi; membuat Aries semakin tidak nyaman karena dia tidak paham dengan apa yang mereka katakan.
Namun, Aries adalah bintang utama hari ini. Sang anggota keluarga yang hilang.
Seorang pria paruh baya berkumis mempersilakan Aries duduk di kursi samping Nonna, sedangkan Lucio, ayahnya, duduk tepat di hadapannya. Satu per satu anggota keluarga lain muncul dan menempati kursi masing-masing. Hidangan bermunculan; pasta, saus, anggur, buah-buahan. Hampir semua orang di meja tersebut menunjukkan gurat kebahagiaan.
Sebelum santap malam dimulai, Lucio berdeham dan meminta kerabatnya diam sejenak. Aries sempat dibuat kagum dengan kecakapan sang ayah saat mengganti bahasa penutur dalam waktu cepat. Dari Italia dengan aksen kental ke bahasa Inggris yang cukup fasih.
"Maaf aku belum memberitahu kalian, Aries tidak mengerti bahasa Italia." Pernyataan tadi mengundang gumaman dan kelegaan untuk Aries. Lucio lalu memusatkan tatapannya kepada Aries. "Jangan cemas, sebagian dari kami bisa berbahasa Inggris meski ada yang patah-patah. Sebagian lagi, terutama para senior, hanya bisa berbahasa Italia."
Aries serta-merta menoleh ke arah Nonna, neneknya. Wanita berambut keperakan itu menanggapi dengan seulas senyuman sembar menepuk punggung tangannya.
Sementara Lucio kembali berbicara dalam bahasa ibunya untuk membuka acara makan malam, Aries memandangi deretan hidangan tanpa minat. Bahkan kehangatan yang dipancarkan dari setiap pasang mata yang beradu pandang dengan Aries tetap membuatnya risih.
Dia ingin pulang; kembali ke tempat berlindungnya yang tenang.
*
Setidaknya ada anggur. Aries sudah lama absen minum wine, terutama sejak dia tinggal di Bandung. Mencecapnya kembali di Italia adalah hal terbaik yang dia dapatkan. Mungkin satu-satunya yang tidak dia sesali dalam kunjungan itu.
Seusai makan malam, Aries sukses membawa sebotol wine dan menyelinap ke taman belakang. Dia sengaja menghindar sebelum sanak saudaraya menyeret ke tengah obrolan membosankan. Jika malam belum turun, Aries mungkin akan berkelana lebih jauh; ke padang rumput di bawah sana sembari menikmati bentangan bebukitan di sekitar rumah tersebut.
Derit pintu kayu menyadarkan Aries. Ekor matanya mengawasi pintu yang perlahan terbuka. Mulanya dia mengira kalau itu Lucio sebelum melihat ujung tongkat yang menjadi penopang sang pemilik. Dalam langkah lambat, sosok renta itu menampakan diri dengan terusan panjang dan kardigan berwarna putih susu.
Aries menaruh botol wine dan gelasnya, lalu beranjak untuk membantu Nonna. Namun wanita itu menggeleng dan meminta Aries kembali duduk.
"Selamat malam, Aries."
Mata Aries membulat. "Nonna... bisa bicara dalam bahasa Inggris?"
"Oh, tentu bisa. Ibumu yang mengajari." Seolah tidak peduli dengan keterkejutan yang Aries tunjukkan lewat sorot mata, Nonna perlahan mengambil tempat di samping Aries, lalu menaruh tongkatnya. "Aku sudah bilang kepada mereka untuk bersikap tenang, tetapi sepertinya mereka terlalu gembira menyambut kedatanganmu."
Aries tersenyum samar. "Terima kasih... untuk sambutannya."
"Seharusnya kami yang berterima kasih karena kamu mau bertemu kami." Sosok di sampingnya memejamkan mata sesaat. Kemudian saat terbuka, tatapannya beranjak ke hamparan rumput yang berpendar lemah di bawah terang bulan purnama. "Padang rumput itu. Dulu Lucio dan Luna sering menghabiskan waktu di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nights with Aries
RomanceAries menyodorkan empat pak pembalut kepada kasir. "Buat istrinya, ya, Mas?" "Iya." Aries punya kehidupan normal dari pukul enam pagi sampai enam sore. Di luar jam itu, ada kisah-kisah tak terduga menantinya setiap malam. *** © 2016 Erlin Natawiria