Apa makna hujan untukku?
"DULU, aku pengin tahu rasanya ciuman di bawah hujan."
Aries mendengus singkat; nyaris menyemburkan sebagian cokelat panas yang baru dia sesap. Sementara di sampingnya, Winona bertopang dagu. Salah satu tangannya terjulur melewati pembatas dan dibiarkan kuyup oleh air. Di hadapan mereka, mobil dan motor lalu lalang melewati perempatan di kawasan Merdeka. Lebih lengang dibandingkan malam-malam tanpa hujan.
"I used to think it was so romantic," Winona melanjutkan. "Mungkin gara-gara aku nonton The Notebook berulang kali. Tapi, ya... kamu ngerasa enggak kalau hujan punya nuansa magis yang sulit dijelaskan?"
"Kalau maksud kamu magis karena suka turun tiba-tiba setelah mencuci mobil, aku sering mengalaminya." Aries mengaduh saat Winona menghadiahi cubitan di lengannya. "What?"
Mata Winona membulat. "Maksudku... kayak sekarang. Mendadak ingat kalau aku pernah punya keinginan itu gara-gara lihat hujan. Aku pernah baca kalau hujan punya kemampuan buat bikin seseorang bernostalgia."
"So, did you get it? A kiss under the rain?"
"Aries, come on." Bola mata Winona berputar. Sang kekasih kembali mengulurkan tangannya melewati pembatas. Sedangkan Aries menandaskan sisa cokelat panasnya sembari mengamati pengunjung lain yang sama-sama sedang berteduh di food court minimarket. Sebagian dari mereka mengobrol, sebagian lagi sibuk menyantap makanan.
Aries lalu menegakkan kantung-kantung belanjaan di bawah meja. "Satu-satunya yang aku suka dari hujan adalah kesempatan merokok."
"Kalau kamu enggak punya topik bagus mending diem aja," sahut Winona.
"Oke, tadi kamu bilang ciuman di bawah hujan itu romantis. Apa sekarang kamu masih berpikir seperti itu?"
Winona menarik napas panjang, lalu menarik tangannya dari serangan rinai hujan. Matanya kini menerawang lurus ke depan. "Enggak lagi. Kalau dipikir-pikir konyol juga. Lagi pula sejak Ayah meninggal, hujan berubah fungsi dari media halusinasi ke penenang alami buatku."
Kemudian, Aries menggeser kursinya untuk menutup jarak di antara mereka. Giliran dia yang kini menopangkan dagu sambil merapikan helai-helai rambut Winona yang terlepas dari ikatan. "Aku kurang suka hujan. It makes me feel lonely, somehow. Terlepas dari sederet manfaat hujan untuk Bumi... no. Sun is better."
"Tapi, No. 46 lebih rame kalau lagi hujan, kan? Orang-orang neduh di sana," imbuh Winona sembari menandaskan wafer terakhir. "Aku kira orang sesendu kamu lebih suka hujan daripada matahari."
"Hm? Menurut kamu, aku masih terlihat sendu?"
Bibir Winona mengerucut. "Nope. Cuma... kamu kadang kelihatan kayak orang dari dunia lain kalau lagi sendirian."
"Jangan kebanyakan makan micin, Winona. Kamu mulai ngawur." Kemudian, Aries beranjak dari kursi dan mengangkat kantung-kantung belanja. "Hujannya mulai reda. Mau pergi sekarang?"
*
Hujan kembali menderas sesampainya mereka di apartemen. Winona langsung mengambil camilannya dan masuk ke kamar, sementara Aries menyiapkan dua cangkir cokelat panas dengan taburan kayu manis bubuk. Di kamar tidurnya, Winona duduk di sofa samping jendela dan baru memalingkan wajah kala Aries menempelkan cangkir pada pipinya.
"Kamu masih memikirkan ciuman di bawah hujan?" Aries duduk di hadapannya. "Harusnya tadi aku coba waktu masuk parkiran."
"Heh." Satu potong keripik kentang melayang ke wajahnya. "It feels just peaceful for me to watching the raindrops. Aku jadi kangen sama indekosku yang lama. Kamu tahu enggak salah satu alasanku pilih indekos itu karena view dari jendelanya selalu mengagumkan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nights with Aries
RomanceAries menyodorkan empat pak pembalut kepada kasir. "Buat istrinya, ya, Mas?" "Iya." Aries punya kehidupan normal dari pukul enam pagi sampai enam sore. Di luar jam itu, ada kisah-kisah tak terduga menantinya setiap malam. *** © 2016 Erlin Natawiria