Chapter 1: Nightmare

21.9K 1K 22
                                    

Pita itu kini ikatannya telah memudar. Telah kusut karena terlalu sering ditarik-ulur. Pita itu... entah bisa kembali seperti sedia kala, atau justru menemukan potongan lain untuk kembali menjadi sebuah simpul. Namun yang harus kalian tahu sekarang, bahwa pita itu masih kusut—masih enggan memberi pengertian atas kesalahan masing-masing.

————————————————

Semua hal telah berbeda meski ia tak memejamkan mata. Semua tak lagi sama. Entah dirinya yang terlalu menutup diri dengan perubahan atau memang jiwanya tertinggal bersama kenangan tujuh tahun silam. Ia sendiri tidak mengerti.

Sekali lagi bulir-bulir bening menyeruak. Memenuhi pipi putih wanita dengan mantel biru tua di ujung bangku gereja. Bibirnya tiada henti melantun doa, berharap Tuhan mengabulkan setidaknya satu dua permintaan yang sejak dulu ia pinta.

Lima menit berlalu dan tangan putih itu perlahan menghapus jejak bening yang tercipta. Membenarkan letak tas tangan, mengangkat syal hingga batas hidung. Melangkah pergi bersama sedikit beban yang telah berkurang dari pundak.

High heels-nya bergemelatuk. Beradu dengan jalan, menggema bersama tapak-tapak pejalan kaki lain. Waktu istirahatnya hanya tersisa lima belas menit lagi. Gegas berjalan cepat berusaha menghindari sentuhan orang lain. Ia tersenyum miris manakala ekor mata tak sengaja menangkap papan reklame bergambar seorang pria yang ia benci. Pria sama yang sudah menghancurkan hidupnya sejauh ini.

***

"Kau tidak tertarik bermain drama?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari wanita yang tengah menata ulang rambut Jung Kook. Ia tidak merasa riskan sama sekali. Tak ubahnya wartawan ingin tahu di luar sana.

Jeon Jung Kook menatap pantulan dirinya di cermin, membalas layangan pertanyaan itu dengan sebuah gelengan singkat. Irisnya sibuk memerhatikan saksama dua pekerja yang tengah mendandani sedemikian rupa. Kemudian beralih memusatkan perhatian pada game favorit yang sudah ia gemari sejak lama.

"Kenapa? Bukankah kau sering ditawari hal-hal semacam itu?" Tidak lantas jera, si penata rambut justru getol memberikan pertanyaan. Seolah baru sekali dua kali melakukan pekerjaan untuk Jung Kook. Seakan tidak mengerti artis kenamaan tersebut begitu muak harus menjawab pertanyaan yang sudah jelas bisa dipahami khalayak.

Jung Kook menghela napas. Sama seperti hari-hari lalu, ia hanya mengatakan, "Aku tidak tertarik." Kemudian memilih menenggelamkan diri pada ponsel. Membuat wanita yang sedari tadi melontarkan pertanyaan menghela napas. Bukan tidak tahu tentang Jung Kook yang tidak berniat terjun dalam seni peran, hanya saja ia sungguh penasaran dengan pria muda sejuta bakat ini. Pria itu terlalu misterius untuk ukuran solois muda bertalenta. Yang sialnya memiliki ratusan ribu penggemar fanatik dari dalam maupun luar negeri.

Sudah bukan rahasia umum jika solois kenamaan ini menjadi kandidat utama pria paling diincar memainkan drama oleh produser-produser. Berkat penjiwaan juga kepiawaian menyanyi, lagu-lagu yang ia bawakan selalu meledak di pasaran. Bahkan saat menyanyi live pun ia bisa dengan natural menangis tanpa properti tambahan, seolah kisah tragis yang terkandung dalam lagu pernah ia alami. Namun siapa sangka kisah hidupnya memang setragis itu? Bahkan tidak ada orang lain tahu akan hal ini. Tidak banyak fakta menyakitkan yang tersebar di internet; seperti agensi memerankan andil besar dalam hal mensortir artikel.

Tidak terhitung banyak fasilitas maupun uang yang dijanjikan akan didapat Jung Kook jika menandatangani kontrak. Namun tak lantas menyerah begitu saja, Jeon Jung Kook bahkan tidak lelah berkata tidak pada setiap produser yang menawarinya bermain drama. Entah apa yang mendasari dirinya berlaku demikian namun jika ditanya oleh media, ia selalu menjawab tidak ingin menumpang ketenaran dengan mencoba bidang lain. Baginya, menyanyi saja sudah menyalurkan seluruh rasa yang ia miliki, mengapa harus menambahi dengan bermain peran? Buang-buang tenaga saja.

Ribbon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang