Semesta seolah menerima keputusan Jung Kook. Hari berlalu terang benderang, cerah dan tiada protes terlayang bagi pelantun lagu Butterfly tersebut. Ia masih duduk di kantor agensi, tersenyum menatap satu per satu teman yang sudah memberinya semangat hingga akhir jenjang karir. Jeon Jung Kook kemudian membungkuk sebagai hormat terakhir perpisahan artis dan agensi. Lantas berbicara dengan nada gusar seperti berat untuk melangkah pergi. "Maaf jika keputusanku menyakiti kalian semua. Terutama untuk Ho Seok Hyeong, jika berkenan teruslah bekerja denganku meski sudah tidak menjadi publik figur lagi."
Sementara Ho Seok yang gampang terharu itu tentu saja menangis kencang. Menubruk tubuh kekar Jung Kook dengan pelukan erat. Sangat tidak menyangka jika Jung Kook memperhatikan nasib sang manajer sendiri. Dan hal tersebut sudah cukup membuktikan bahwa Jung Kook memanglah seorang baik. Jung Kook memanglah pria yang tidak pernah ingin membuat orang lain kecewa meski hanya satu kali.
"Hiduplah dengan baik, Jung Kook-ah. Terima kasih sudah mempercayakan bakat emasmu pada agensi kami selama ini." Dari tempat duduknya Nam Joon tersenyum lebar. Ia tidak terkejut mendapati keputusan Jung Kook yang tiba-tiba. Sorot mata besar Jung Kook semalam sudah menjadi alasan kuat bahwa pria itu tidak mungkin ingin melanjutkan karir. Lalu premis tersebut diperkuat dengan raut wajah Jung Kook sebelum konferensi pers berlangsung, dan puncaknya ketika ia tidak mau menjawab pertanyaan—melemparkan Nam Joon sebagai umpan agar Jung Kook bisa menyiapkan diri.
Melepas pelukan dengan Ho Seok, Jung Kook mengangguk pada Nam Joon. Ia menghela napas. Setelah kalimat panjang terlontar mulus tanpa ada jeda, Jung Kook sudah memiliki tujuan hidup lain yang tertata di dalam kepala. Memanfaatkan bakat-bakat lain seakan mubazir rasanya jika harus dibuang begitu saja. Ia merotasikan netra mencari sosok Yoon Gi. Pria itu berada di sudut sofa, melihatnya dengan sesungging senyum tipis. Bagai menumpuk beban di pundak, pria tersebut tidak mengatakan apa-apa selain acungan jari jempol. Dan Jung Kook hanya mampu maklum kemudian berpamit untuk pulang. Ia akan meminta kurir memberesi barang-barangnya nanti. Pula berharap tidak akan ada Golden yang mencegat di pintu masuk agensi seperti insiden beberapa minggu lalu.
Namun Jung Kook tahu fans setia pasti memilih untuk melihat idolanya untuk terakhir kali. Terbukti dengan kehadiran cukup banyak Golden di pintu masuk membawa spanduk-spanduk besar penyemangat. Hati Jung Kook mencelos saat itu juga. Bagaimana bisa seorang mencintai terlalu dalam hingga berniat melakukan apa pun sampai akhir? Bagaimana bisa ada orang-orang loyal seperti itu dalam negaranya? Bahkan terlihat beberapa wajah asing di sana juga.
Jung Kook melangkah berat menggapai pintu masuk. Sempat dilarang petugas keamanan, diminta untuk keluar melalui pintu lain tapi ditolak mentah-mentah. Pria itu juga ingin menemui Golden. Menemui orang-orang hebat yang sudah mencintainya hingga akhir. Menemui orang-orang hebat yang sudah memberi dukungan hingga saat ini. Lalu ketika pintu terbuka dan Jung Kook berdiri sekitar lima meter di hadapan mereka, Golden—hampir keseluruhan berjenis kelamin perempuan—segera menyanyikan bagian reff lagu Butterfly milik Jung Kook. Membuat sang empunya berkaca-kaca sembari membungkuk hormat.
"Kami akan mengenangmu sampai akhir, Jung Kook-ah! Kami akan selalu mendukungmu. Akan kami pastikan tidak ada seorang pun Golden yang memutuskan bunuh diri hanya karena kau tidak lagi menjadi seorang artis." Jung Kook menyudahi penghormatan lantas menatap gadis yang berteriak lantang tadi. Ia mengingat gadis itu. Gadis yang sejak awal sudah menjadi bagian dari Golden, mendedikasikan diri sebagai fansite bernama Snowpeach.
Air mata terjun bebas, mengaliri pipi-pipi Jung Kook. Tidak pernah terbayang jika mengatakan selamat tinggal begitu sulit seperti ini. Namun Jung Kook tahu keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik. Jadi ia berusaha tersenyum di tengah derai tangis, tersenyum untuk terakhir kali dan berkata, "Terima kasih telah bersamaku sampai saat ini. Maaf jika aku mengecewakan kalian. Jika kalian berpapasan denganku nantinya, akan kupastikan tidak ada yang berubah dari diriku kecuali bertambah usia."
"Makanlah dengan baik dan jangan pernah terlihat kurus, Jung Kook-ah! Kami akan selalu mendengarkan lagu-lagumu!"
Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang Jung Kook dengarkan sebelum berpamit pulang. Sekali lagi ia membungkuk cukup lama. Melepas segala tangis hingga telinga memerah serupa tomat segar. Kemudian ia meninggalkan segalanya di sana; dalam langkah kaki yang bergerak maju dan tidak ingin menoleh kembali ke belakang.
***
Hidup memang tentang memilih dua pilihan; baik atau buruk, susah atau senang, suka atau benci, mencintai atau dicintai, datang atau pergi, dan hampir semuanya seperti itu. Namun Im Na Young seakan benci tentang konsep dua pilihan tersebut hari ini. Ia memang sudah mewanti-wanti diri agar tidak menaruh kecewa pada segala keputusan yang Jung Kook ucapkan. Akan tetapi ia juga tidak bisa memahami hati yang justru menaruh rasa sedih karena hal ini. Siapa dirinya dan apa yang membuat ia mampu berpikir demikian pun Na Young tidak memiliki jawaban pasti.
Hela napas kasar lolos begitu saja dari bibir Na Young. Ia sangat ingin menangis seperti rekan-rekan kerjanya yang lain. Namun air mata urung berlinang meski diri sudah diliputi kecewa bertubi-tubi. Seperti merasa sesak tapi tidak bisa batuk. Seperti mimpi buruk dan ia tidak bisa meminta pertolongan meski hanya berteriak. Dan Na Young menyerah setelah waktu menunjukkan pukul dua lebih dua menit. Meminta izin untuk keluar sebentar sebelum tangis menganak-pinak.
Ia tidak mengerti akan dirinya sendiri sekarang. Beberapa waktu lalu saat ingin sekali menangis, netra justru tidak merespons dan membiarkan hati tertekan dengan gumpal-gumpal sesak. Kemudian saat semua teman sudah mereda, tangis justru datang tanpa permisi. Mengalir dan terus mengalir seakan pasokan tersebut terisi beribu-ribu liter. Dan ia berhenti di depan pohon maple yang sebentar lagi kehilangan semua daun. Berhenti... menangis dan mengeluarkan air bening itu lagi dan lagi.
Hingga tidak sadar jika salah satu pria tiada henti memandang dalam jarak sembilan meter. Menerka-nerka dalam hati, benarkah gadis yang menangis adalah gadis dalam masa lalu. Yang kemudian membawa dirinya terbang bersama kenangan, terbang bersama memori perpisahan dua sahabat di depan halte bus.
Pria itu ingin sekali mendekat tapi kaki tidak mengizinkan untuk bertindak. Jadi ia hanya berdiri kaku sembari berharap sang gadis segera mengangkat kepala. Terus berdiri di sana tanpa melakukan apa-apa. Berdiri... hingga benar gadis tersebut mengangkat kepala, menunjukkan paras penuh linang air mata. Menunjukkan kelemahan sama seperti raut wajahnya beberapa tahun lalu.
"Sekian lama tidak bertemu, mengapa raut wajah itu yang kau tunjukkan padaku, Im Na Young?" Pria itu menggumam sembari terus memperhatikan Na Young. Gadis itu sama sekali tidak bergerak; stagnan bersama ribuan air mata tumpah di pipi. Dan sang pria pun jadi enggan meninggalkan tempat. Enggan meninggalkan sebab ia tahu betapa sulit waktu berlalu tanpa melihat Na Young dalam hidupnya. Betapa sulit waktu jika ia bertanya-tanya bagaimana kabar, di mana gerangan Na Young berada, dan bagaimana cara ia hidup selama ini.
Perlahan, sepasang kaki itu mendadak mudah digerakkan. Sepasang kaki itu segera berjalan menuju sang gadis pujaan. Lantas ketika seluruh anggota tubuh bekerjasama, ia mulai tamak dengan menghendaki sebuah peristiwa terjadi. Tangan mulai menggapai dan pria itu benar-benar memeluk tubuh ringkih Na Young. Membuat sang empu terkejut begitu pula objek yang mendapat serangan dadakan. Namun keduanya tidak menjauh. Justru saling tatap, justru saling terpaku satu sama lain.
To Be Continued...
A/N: Ini masih bagian dari chapter 13 ya. Karena chapter-chapter sebelumnya juga 2k+, jadi dua chapter ini kalau digabung ada 2,6k+ >< maaf agak telat update krn kemarin perutku agak gak beres ^^v BTW AKU LEBIH SUKA PHOTO CONCEPT L SAMA F MASAAA >< DIRGAHAYU INDONESIAKU! DIRGAHAYU NEGERIKU!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✔
FanficSeorang yang mengalami trauma di masa lalu, tepatnya tujuh tahun silam, telah mati-matian menghindari pria si penyebab trauma. Lalu bagaimana jika mereka akhirnya bertemu kembali? Bukan cerita yang akan membawamu pada Happy Ending seperti multi cha...