"Aku harus pergi, Jeon. Aku tidak bisa tetap tinggal di sini." Wanita bergaun minim berusaha melepaskan cengkeraman tangan Jung Kook. Wanita itu nampak ketakutan, bahkan ia terus saja memproduksi keringat dingin tanpa diminta.
Jung Kook menggeleng kuat. Di malam sepi seperti ini, setelah mereka bercinta wanitanya hendak pergi begitu saja? Sangat aneh mengingat seharusnya ia yang pergi, bukan Anastasya. "Tidak. Apa kau menghindariku, Ana?"
Anastasya tidak menjawab. Wanita itu memilih berusaha keras agar tangan berotot yang ia puja setiap malam menyingkir darinya. Demi Tuhan, kenapa pria di hadapannya begitu keras kepala?
"Katakan padaku... katakan padaku apakah kau mengandung? Mengandung anakku?"
Tawa hambar seketika membumbung di udara. Anastasya yang tertawa. Suara tawanya kemudian memudar mengingat di mana kini mereka berhenti; kawasan industri radius sekitar lima ratus meter dari bar. Anastasya menatap Jung Kook, menatap lama pada kerutan di dahi pria yang diam-diam ia cinta.
"Rahimku sudah diangkat sejak dua tahun lalu. Jangan konyol!" bentak Anastasya berhasil melepas tangan Jung Kook. Ia berjalan cepat tidak memedulikan teriakan Jung Kook yang menggema. Baginya sangat sial hari ini jika pemuda tujuh belas tahun tetap mengikuti ke mana langkahnya pergi. Dan ia tidak menyangka bahwa Jung Kook benar-benar mengejar sejauh ini.
"Ana." Jung Kook tidak henti mengekor. Ia tidak mengerti mengapa langkah wanita di hadapan semakin tidak terkontrol; kadang tergesa, kadang mengendap-endap.
Wanita itu sudah cukup sabar untuk tidak meninggikan suara. Namun seolah tidak paham dengan situasi Jung Kook masih terus saja membuntuti. Anastasya berhenti, memutar tubuh demi menatap Jung Kook. "Berhenti di sana!" ujarnya keras dan dingin.
Jung Kook yang tidak mengerti justru makin mengerutkan dahi. Mengapa... mengapa Anastasya terlihat berbeda malam ini? Sewaktu bercinta dengannya juga ia terlihat tergesa, benar-benar menolak didominasi. Wanita itu menunjukkan sisi terliarnya namun justru terlihat aneh bagi Jung Kook.
Belum sempat Jung Kook menanggapi Anastasya sudah kembali berjalan. Kali ini Jung Kook memberi jarak, tidak berusaha mengejar tapi tidak juga menyerah. Ketika tubuh Ana sudah tinggal separuh terlihat ia baru mulai menjajakan kaki.
Anastasya menghilang di belokan lalu sebuah teriakan membumbung di udara. Jung Kook segera berlari, cukup tahu bahwa teriakan tersebut berasal dari bibir sang wanita. Namun belum sempat ia melihat wujud Anastasya, teriakan kembali menggema disusul suara tawa berat laki-laki. Jung Kook memundurkan langkah, ia seperti berada di dalam drama-drama action di mana menyaksikan pembunuhan di depan mata.
Jung Kook menghela napas panjang. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan namun nyatanya tidak mampu. Sang otak tengah berpikir keras menyelamatkan si pujaan hati namun tubuhnya justru menginginkan ia segera lari. Jika ada seseorang yang menemukan dirinya seperti ini maka tamatlah riwayat baik Jung Kook esok hari. Maka dengan berat hati ia meniti langkah, berusaha setenang mungkin agar tidak menimbulkan kekacauan.
***
Esok pagi menyambut Jung Kook dengan biasa. Matahari tidak muncul, sebaliknya udara dingin justru mengepung membuat dirinya tidak ingin beranjak dari selimut. Hari ini tepat tanggal dua puluh empat desember, malam natal kedua yang ia lalui tanpa sang ayah.
Jung Kook melirik jam wekker yang ada di sisi kiri ranjang, cukup terhenyak mendapati angka delapan muncul di sana. Segera ia menendang selimut, masuk dalam kamar mandi untuk menggosok gigi lalu tergesa turun untuk sarapan. Ia melihat sang kakak menonton televisi sementara ibunya sudah pergi ke restoran seperti biasa. Jung Kook mengambil roti panggang serta telur di piring lalu bergabung dengan kakaknya di ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✔
FanfictionSeorang yang mengalami trauma di masa lalu, tepatnya tujuh tahun silam, telah mati-matian menghindari pria si penyebab trauma. Lalu bagaimana jika mereka akhirnya bertemu kembali? Bukan cerita yang akan membawamu pada Happy Ending seperti multi cha...