Chapter 18.2: Unexpected Chance

2.5K 400 15
                                    

Pagi itu Jeon Jung Kook terbangun dengan rasa bersalah. Tidak seharusnya ia memilih bungkam dan membiarkan Yoon Ji pergi meninggalkannya saat pagi buta. Namun ia seolah tidak memiliki hak untuk mengejar meski terdengar isakan dari kejauhan. Seolah pura-pura tuli meski hati menolak untuk terus bungkam. Ia merasa ingin menghargai keputusan Yoon Ji, setidaknya untuk saat ini.

Ia bukan tidak peduli, atau tidak ingin mengakui bahwa satu-satunya yang harus diperjuangkan hanyalah Yoon Ji. Akan tetapi wanita itu justru memilih larut dengan kesalahpahaman, pergi dengan sejuta kenangan yang tidak akan mungkin lepas dari ingatan. Sekali lagi Jung Kook akan mencoba memahami dari sisi Yoon Ji. Akan mencoba bagaimana pola pikir sang wanita sehingga memilih berkorban demi cinta. Oleh karena itu ia memilih tetap tidak beranjak. Meski netra sudah tidak mampu memejam setelah ranjang bergoyang karena pergerakan kecil tersebut.

Satu hari tanpa Yoon Ji terasa sulit dilewati. Bagaimana biasanya ketika pulang bekerja sudah disuguhkan dengan senyuman manis, kini ia hanya menatap hampa kamar tidur beserta kerutan linen di ranjang. Hal itu terus berulang hingga esok dan Jung Kook mendapati dirinya seperti kurang waras. Ia meraih ponsel, menelepon Yoon Ji berkali-kali berharap agar mendengar suara wanita itu meski satu detik. Namun nihil karena Yoon Ji sama sekali tidak mengangkat. Bahkan wanita itu terlalu kentara menghindari Jung Kook.

Lalu hari berikutnya Jung Kook mencoba untuk pergi ke kedai sang ibu. Berkunjung sekaligus mencari Yoon Ji yang biasanya sudah bisa ia jumpai ketika baru melangkahkan kaki. Meski tidak ada tanda wanita tersebut di depan, Jung Kook tidak kurang akal untuk mencari sang ibu di ruang penyimpanan bahan makanan. Akan tetapi ia hanya menjumpai sang ibu di sana. Tidak ada Yoon Ji, bahkan tidak dengan bayangannya sekalipun.

Jung Kook menghela napas. Menyapa ibunda tercinta lalu berbincang dengan beliau untuk beberapa saat. Harap-harap cemas bahwa ia akan menemukan Yoon Ji jika saja gadis itu bertukar shift dengan pegawai lain. Akan tetapi hingga petang menjelang tidak juga ia temui Yoon Ji di sana. Jung Kook berpamit pulang, berhenti di setiap toko yang terlihat dari jarak pandang lantas membeli satu per satu barang. Bermaksud mengirimkan semuanya ke apartemen Yoon Ji sebagai permintaan maaf.

Namun semua hal yang Jung Kook lakukan terasa sangat sia-sia. Tidak ada telepon, tidak ada balasan chat, bahkan ia juga tidak menemukan Yoon Ji di mana pun. Ia merasa seperti kembali ke masa tujuh tahun lalu. Merasa hati dan perasaannya sekali lagi terguncang karena ketidakhadiran Yoon Ji. Merasa kewarasannya menguap hari demi hari karena kehilangan Yoon Ji.

Dan ketika ia terbangun di hari ke delapan tanpa Yoon Ji, Jeon Jung Kook benar-benar seperti zombie. Hidup enggan, mati pun tidak mau. Satu-satunya hal monoton yang terus ia kerjakan hanyalah bekerja, mengulur waktu agar perasaan bersalah ini tidak berkelanjutan. Berbincang sekenanya dengan rekan-rekan termasuk juga Na Young. Dan hanya itu.

Pria itu bahkan lupa kapan terakhir kali ia makan dengan benar.

***

"Anak lelaki?" Netra Yoon Ji membulat serius. Mungkin seharusnya ia tidak bereaksi berlebihan. Sebab Jung Kook adalah pria yang sangat sehat dan Na Young juga demikian. "Mereka pasti akan jadi keluarga bahagia."

Ye Rin mendengus kasar. Tidak perlu seorang dengan kepintaran di atas rata-rata untuk mengetahui bahwa sang wanita di hadapan menyimpan kekecewaan. Namun seolah bukan masalah besar, Yoon Ji justru memprediksi bahwa Na Young dan Jung Kook akan menjadi keluarga bahagia. Wanita ini terlalu memaksakan diri. Dan alih-alih bahagia karena Na Young akan mendapatkan Jeon Jung Kook sepenuhnya, Ye Rin justru merasa tidak nyaman. "Aku memang tidak bisa mengerti jalan pikiranmu, Yoon Ji-ssi. Tapi percayalah, kau tidak perlu mendustai hatimu hanya untuk Na Young."

Satu lagi helaan napas, dan keheningan membumbung hingga enam menit kemudian. Ye Rin mungkin terlalu banyak bicara. Terlalu banyak menilai orang lain meski baru kali pertama jumpa. Namun ia perlu meluruskan bahwa seorang tidak perlu mengorbankan hati dan perasaannya hanya untuk membuat orang lain bahagia. "Maaf jika aku terkesan menggurui. Tapi maksudku, aku adalah sahabatnya sejak kecil. Kami sudah saling mengenal sejak baru bisa menggenggam. Dan jika Na Young tahu kau mengorbankan perasaanmu untuknya, ia tidak akan tinggal diam."

Ribbon ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang