Bangun dengan Yoon Ji dalam pelukan merupakan sebuah pagi yang indah bagi seorang Jeon Jung Kook. Semalam mereka hanya tidur kurang dari lima jam lalu alarm ponsel Jung Kook sudah meraung minta perhatian. Tanpa dikomando dua kali Jung Kook segera memulai aktivitas. Meminta Yoon Ji untuk tetap berada di ranjang sementara ia bersiap menghadapi hari besar; penentuan karir dan sikapnya menghadapi antusiasme masyarakat terhadap skandal beberapa minggu lalu.
Jung Kook mendesah selagi air membasahi tubuh telanjangnya. Pikiran terus melalang buana akibat cerita Yoon Ji semalam. Ia merasa iba sekaligus takut jika kejadian masa lampau terulang kembali, bahkan mungkin jauh lebih parah dari itu. Masih segar dalam ingatan Jung Kook ketika Yoon Ji berkata bahwa ayah dan ibunya sudah meninggal berkat keganasan mafia tersebut. Pula Jung Kook masih ingat insiden tujuh tahun lalu yang akhirnya memisahkan mereka, di mana pria-pria bertubuh kekar tidak segan melukai wanita. Perasaan Jung Kook tercabik-cabik. Sakit itu membekas kuat hingga palung hati.
Ia menyudahi mandi dan berpakaian sesegera mungkin. Melihat Yoon Ji kembali tidur dengan damai membuat segurat tipis senyum tersungging di bibirnya. Pria tersebut mampir sejenak ke ranjang demi mencium kening Im Yoon Ji. Lantas menghela napas, bergegas pergi dengan beban yang tidak jua hilang.
Jung Kook merogoh ponsel dalam saku selagi berjalan keluar rumah. Mencari kontak sang ibu dan segera menekan tombol panggil. Berharap dalam tiap ketukan sepatu bahwa sang ibu akan segera merespons panggilannya. Lalu pada dering ke empat suara sang ibu sudah terdengar dari seberang sambungan. "Ibu? Kumohon jangan benci aku jika kalimat yang kuucapkan di konferensi pers nanti tidak sesuai dengan keinginan hatimu."
Hanya sebuah kalimat penuh dengan keragu-raguan yang keluar dari bibir Jung Kook. Sang ibu di seberang sambungan beberapa kali terdengar menghela napas. Si bungsu memang berkepribadian keras kepala, dan tidak mungkin bagi orang lain menyuruh kebalikan dari hal yang ia yakini. Maka dengan itu sang ibu hanya mengujar kata setuju. Meski hati tidak mengerti, Beliau tidak ingin memberi tambahan beban bagi Jung Kook lagi dan lagi.
Lalu Jeon Jung Kook sesegera mungkin masuk ke dalam mobil. Mematikan sambungan telepon, menghela napas kemudian menekan pedal gas. Ia akan mempertaruhkan semuanya hari ini. Ia akan memulai segala hal dari awal mulai hari ini.
***
Untuk pertama kalinya Na Young tidak keberatan ketika rekan-rekan kerjanya membicarakan tentang konferensi pers Jung Kook yang diadakan sebentar lagi. Ia gugup bukan main. Jantung Na Young bahkan berdetak dua kali lebih kencang, dan tidak ada obat penawar kecuali sudah mendengar sendiri keputusan besar seperti apa yang akan Jung Kook buat. Na Young menghela napas. Berharap dengan tindakan tersebut mampu meredam sedikit saja kegugupan yang ia rasa.
Beberapa menit lalu ucapan semangat yang Na Young kirimkan melalui pesan teks sudah dibalas oleh Jung Kook. Hanya balasan singkat sekadar ucapan terima kasih tapi itu sukses membuat Na Young semakin gugup. Ia jadi bertanya-tanya apakah Jung Kook juga merasakan gugup? Apakah Jung Kook juga tidak bisa menelan sarapan dengan baik seperti dirinya pagi ini?
Alarm tanda finger absensi membuyarkan lamunan Na Young. Ia menghela napas sekali lagi. Mengantre di belakang teman perempuan satu divisi tanpa perlu mengucapkan kalimat apa pun. Mengembuskan napas, berdoa agar segala keputusan yang Jung Kook pilih hari ini merupakan keputusan paling baik. Entah mereka berakhir bersama atau tidak, Jung Kook harus benar-benar memilih keputusan tepat. Dan Na Young juga berjanji dalam hati untuk tidak kecewa dengan ucapan Jung Kook di kemudian hari.
***
Ruang make up Jung Kook terasa benar-benar sunyi. Ia hanya sendirian di tempat ini; merenung, mengiba lantas mengasihani dirinya sendiri. Teringat akan peluh yang dicucur tiap latihan, ingat bagaimana harus berjuang demi memberi kepuasan pada orang-orang yang mencintai ia di luar sana. Kemudian pada sang ibunda dan kakak lelaki beserta lantunan doa tiada henti. Pula pada Im Na Young, Im Yoon Ji dan putra kecilnya di Daegu sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✔
FanfictionSeorang yang mengalami trauma di masa lalu, tepatnya tujuh tahun silam, telah mati-matian menghindari pria si penyebab trauma. Lalu bagaimana jika mereka akhirnya bertemu kembali? Bukan cerita yang akan membawamu pada Happy Ending seperti multi cha...