Edgar: Biarkan Aku Jadi Diriku

33 0 0
                                    

Aku terdiam di sana. Sebuah tanah kosong yang tidak sepenuhnya kosong. Ada ayunan menggantung di sebuah pohon mangga. Juga dua perempuan kecil aneh yang membuatku mempertanyakan pengelihatanku sendiri.

Yang satu rambutnya putih dan mata biru safir sedang membaca buku.

Anak kecil lainya berambut cokelat kemerahan, punya sayap angsa kecil mengintip dari baju yang terbuka di bagian pungung.

Si rambut putih menyadari keberadaanku. Melambai malu dan fokus lagi pada bukunya.

"Nak, ayo kita pulang." oh, itu ibuku sudah selesai bicara dengan orang dewasa lainya.

Kayaknya, kita akan bertemu lagi.

••••

Sempurna

  Aku harus seperti itu

    Begitu kata ibuku. Kalau tidak

             Aku akan tersingkir

                  Mindset macam apa itu?

Aku Edgar. Aku berasal dari keluarga terhormat, meski tidak punya sepesialisasi khusus dalam kekuatan ajaib. Aku punya ibu, ayah, kakak kembar bernama Elina, banyak mainan,

Hidupku sempurna dan aku diatur agar se-sempurna hidupku. Kalah adalah kata yang tabu. Lagian siapa juga yang mau?

Hari ini aku berjalan-jalan di halaman belakang rumahku. Taman yang mengelilingi kolam berenang.

Disitulah aku melihat pria tua yang asing. Rambut dan janggutnya sudah beruban. Memakai baju dan celana coklat dan hitam kotak-kotak. Sebuah kacamata hitam bertengger di hidungnya dan topi bercorak serupa di kepalanya. Sebuah tongkat kayu di tangan kananya. Sebuah pipa kosong di tangan lainya

Apa dia detektif? Salah satu saudagar? Cendikiawan? Atau jangan-jangan mafia?

"Wah, selamat pagi Edgar." sapanya ramah dengan suara beratnya. Jelas dia bukan mafia.

"Oh, kau disini. Edgar, dia guru prifatmu yang baru." kata ibuku singkat.

••••

Setelah itu, aku selalu menghabiskan pagi dan sore untuk belajar. Kebanyakan yang aku pelajari adalah angka-angka dan cara berbisnis. Biasa, pelajaran orang kaya

"Pak Arman, aku bosan dan ngak mau belajar hari ini." rengekku setahun sejak pak Arman— mungkin harusnya kakek— menjadi guruku dan Elina.

Pak Arman menghisap pipet kosong itu lagi— sungguh kegiatan yang aneh.

"Mungkin bukan itu minatmu. Mau bagaimana lagi. Jadi,mulai sekarang, kita akan mencoba berbagai hal baru. Setuju?" aku dan Elina mengangguk bersemangat.

Dari situlah aku sadar, dunia lebih luas daripada yang aku kira.

Suatu hari pak Arman membawa sebuah biola. Meski hanya beberapa lagu sederhana, aku senang bisa memainkanya. Kurasa Elina juga sama.

Di hari lain kami ditunjukan raket dan sutelcook. Jadilah aku dan Elina bermain batminton seharian dan lupa dengan pelajaran kita. Ibuku sangat marah saat itu.

Kami tidak bisa lupa saat kami mempelajari tumbuhan si sekitar rumah yang kami baru tahu itu ada.

"Kenapa kalian dekil begini? Mandi sekarang juga!" kali ini giliran ayahku yang marah setelah kami mengadakan penelitian kecil tentang serangga.

"Arman, kenapa anda malah mengajari mereka yang seperti itu? Anda ingat bukan alasan saya menyewa anda?" kata ayahku.

"Tapi itu permintaan anak anda. Siapapun pasti jenuh kan, jika terus-terusan belajar di dalam ruangan." bela Pak Arman.

E.Sya.Ve.Ya: Guardian FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang