Disini Tidak Mungkin Banjir, Kan?

25 3 0
                                    

Langkah kaki kecil menyusuri tumpukan buku adalah satu satunya suara yang ada di perpustakaan. Bukan hanya karena aturan tak boleh berisik, tempat ini juga hanya diisi satu atau dua siswa

"Syaf?!"

Vero berdiri di hadapan sofa. Memanggil temanya yang asyik membaca sebuah buku berlembar kuning.

Pemuda itu menghempaskan tubuhnya ke samping gadis itu. Jemarinya iseng menjibakan surai perak Syafira dan mendapati alat bantu dengar tak terpasang di telinganya.

Terlepas dari itu konsentrasinya sama sekali tak buyar saat Vero menyentuh rambutnya.

Tanganya sekarang menarik telinga Syafira. Hingga gadis itu menjerit.

Sesaat keduanya saling tatap. "Oh!" buru-buru Syafira memakai lagi alat bantu dengarnya.

"Apa sih yang kau baca? Serius amat." Vero sedikit kesal karena betapa sulit memanggil Syafira jika sudah bertemu buku.

"Cuma mencari pentunjuk dari buku tua." masih dengan pembawaan ringanya, manik biru itu kembali menjelajahi barisan huruf di buku.

"Kamu itu beneran kutu buku. Dan aku heran kenapa Kamu ngak pake kacamata." ungkap Vero.

"Orang berkacamata ngak berarti kutu buku, begitupun sebaliknya. Dan aku biasanya ngak akan berhenti sebelum menemukan apa yang kucari. Kecuali kalau lapar." pandangan Fira seolah terkunci pada bukunya.

"Pernah ketiduran di perpus?" tanya Vero iseng.

"Aku belum menganggap sebuah kota tempat tinggal sebelum pergi ke perpustakanya dan ketiduran disana. Hehe, padahal aku belum pernah pergi dari desaku sebelum ini." sekarang Fira berjalan ke meja pustakawan untuk meminjam buku itu.

"Tapi hari ini kasusnya lain. Ayo!" gadis itupun seolah sudah tau tujuan Vero datang ke perpustakaan--untuk  menjemputnya.

••••


Bersama ketiga temanya, gadis beriris biru itu berjalan dari suatu tempat. Diantara teman-temanya yang biasa saja, hanya dia yang nampak cemberut.

"Setidaknya kau mengapung bak kucing hanyut di kolam tadi. Bukan tengelam kayak batu." perkataan Edgar yang maksudnya menghibur, sukses buat anak termuda diantara mereka semakin cemberut.

Vero--entah mengapa selalu menutup kepalanya dengan hoodie tiap pergi ke luar jika tak dandan seperti kutu buku bernama Vito-- hanya bisa geleng-geleng sambil terkekeh pelan, meski sebenarnya sangat ingin menghajar Edgar. Membekukan mulutnya sampai tak bisa bicara lagi.

Lain halnya dengan Maya, "Sudahlah, Fira, gagal di satu materi bukan ahir dunia. Toh di pelajaran dan olah raga lain kamu hebat kok." perempuan yang matanya merah jambu ini berhasil memotifasi dengan nada lembut mirip keibuan.

"Tapi kenapa di kota dekat gunung begini tetap ada pelajaran renang? Padahal ngak ada perairan selain sungai kecil dan danau buatan di taman, disini tidak mungkin banjr, kan?" umpat Fira agak kesal.

"Kalaupun ngak berguna disini, mungkin berguna pas kamu bepergian, syaf. Ohya, emangnya, di sekolahmu dulu ngak ada pelajaran renang?" kata Vero sambil bertanya.

"Mau berenang dimana? Airnya beku semua. Yang ngak beku cuma sumur sama sungai berbatu." jelas Syafira ringkas.

"Hah?" Maya kebingungan.

"Aku ingat di daerah utara itu musim dinginya bisa sampai lima bulan. Bahkan ada sebagian daerah yang tertutup salju abadi." kata Vero.

Syafira terus menunduk sepanjang perjalanan kembali ke asrama. Merasa seharusnya dia tetap di perpustakaan dan bolos kelas berenang.

E.Sya.Ve.Ya: Guardian FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang