Ruangan bernuansa hitam perak itu terlihat ricuh dengan berbagai ocehan dari sekumpulan cowok. Nico mengusap mukanya lelah dan melihat sekeliling dengan pandangan putus asa. Kamarnya yang semula rapi menjadi sangat berantakan karena diacak-acak para sahabatnya yang meskipun sangat ingin dibunuhnya namun juga sangat ingin dipeluknya.
"Go away." Kata Nico yang langsung saja seperti membekukan waktu saat itu juga. Edgar yang sedang bermain playstastion, dan Alan yang sedang membaca koleksi buku Nico menoleh bersamaan ke arah Nico. Begitupun Rayan yang sedang membaca seuatu di ponselnya juga melirik Nico.
Umpatan Edgar yang keras karena menyadari bahwa gawangnya kebobolan langsung saja membuat waktu seakan kembali berputar. Selagi Edgar terus mengumpat-umpat kesal, Alan kembali menekuni buku dihadapannya, sedangkan Rayan meraih ponselnya dan mengutak-atiknya. Mereka kembali mengacuhkan Nico seperti dua jam sebelumnya saat kedatangan mereka.
Ketiga cowok itu langsung mengeloyor masuk ke kamarnya saat dibukakan dan langsung mengacak-acak kamarnya. Edgar menghidupkan televisi dan playstation, Alan mengeluarkan buku-buku dari rak dan membiarkannya berceceran di atas tempat tidur, dan Ra-yan yang langsung menyahut beberapa komik dan langsung merebahkan dirinya di kasur Nico. Sedangkan Nico? Cowok itu hanya melongo dan langsung duduk di sofanya sembari mengamati teman-temannya.
Sebenarnya Nico tahu alasan teman-temannya datang tanpa pemberitahuan dan langsung bersikap seperti itu. Dan memang kebia-saan ini sudah mereka lakukan sejak awal persahabatn mereka. Setiap ada salah satu diantara mereka yang sedang dalam masalah dan enggan untuk berbagi beban itu, maka mereka akan bersikap merusak ketenangan sang empunya masalah sampai yang bersangkutan menceritakan masalahnya.
Nico memghela napas lelah lalu kembali mengacak-acak rambutnya, "Kalian kan udah tau masalahnya."
"Hanya sekelumit." Gumam Rayan pelan masih tidak mengalihkan fokusnya pada ponsel di tangannya.
"Itu udah semuanya." Jawab Nico sebal.
"Nggak mungkin." Jawab Alan pelan juga tanpa memperhatikan fokusnya pada buku yang sedang dibacanya.
"Yaelah, kagak percaya banget sih."
"Kami tau kali Nic, nggak mungkin cuma gegara itu lo sampek nggak masuk sekolah dua hari tanpa alasan." Kata Edgar masih tetap dengan menggerakan jarinya lincah pada stick playstation dan mata terpancang pada layar televisi.
"Gue cuma capek."
"Ya ya ya bilang aja gitu terus sampek lo sukses." Ucap Rayan sambil mendengus.
"Jadi kapan lo masuk sekolah?" Tanya Edgar.
"Lusa mungkin." Jawab Nico.
"Kenapa nunggu lusa?" Tanya Alan.
Lagi-lagi Nico menghela napas lelah, "Ada banyak urusan yang harus gue selesaiin."
"Gue nggak bakal tanya urusan apa itu karena pasti lo juga kagak bakal ngejawab, tapi masa iya sampek lo harus ngorbanin sekolah lo Nic." Kata Edgar menyuarakan pikirannya.
"Dan lo harus ngehubungin dan ngasih penjelasan sama Sheen." Sambung Alan.
"Nggak untuk sekarang."
"Shit! Dia udah kek bukan Sheen, Nic. Dia dateng ke sekolah dengan mata hitam kek orang nggak tidur berhari-hari. Wajahnya kuyu dan gue rasa dia makin kurus." Edgar menatap Nico tajam.
"Dan itu orang yang tiap hari nanya kita buat nanyain kabar orang yang barusan bilang dia nggak cukup penting untuk tahu masalahnya." Sambung Rayan.
Nico bangkit dan menendang kesal sofa yang baru saja didudukinya. Cowok itu mengusap kasar wajahnya berkali-kali dan menjambak rambutnya. Lalu dia berbalik badan dan menatap semua sahabatnya lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Famous Untouched
Ficção AdolescenteDingin ketemu dingin? Apa jadinya? Nicholas Amadio Ganendra, cowok heartbreaker dengan incaran para gadis standar yang nggak famous sama sekali, padahal Nico termasuk cowok terpopuler disekolahnya. Dengan semua kelebihannya itulah banyak kaum hawa y...