EMPAT

5.8K 361 12
                                    

"Tapi ini akan membunuhku secara perlahan ibu. Jika aku menikah, apakah aku terjamin tidak masuk rumah sakit jiwa? Apakah aku bisa bahagia? Mengapa ibu tak mengikuti perintah ayah saja. Dengan memasukkanku ke dalam rumah sakit jiwa, semua akan tenang. Tak ada yang tersakiti," ucapku frustrasi.

"Tidak ada yang tersakiti maksudmu? Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu? Bagaimana dengan ibu? Oke, jangan pikirkan ibu. Bagaimana dengan kau?" Ucapnya bertubi-tubi.

"..."

"Ibu melakukan semua ini hanya untukmu, untukmu. Ibu tak ingin melihat kau masuk ke tempat itu karena ibu tahu kau tak gila. Kau waras!" Kesal ibu.

"Tapi dengan melakukan semua ini ibu sama saja seperti memasukkan aku ke dalam tempat yang lebih parah. Mungkin bukan ayah yang akan memasukkanku ke dalam rumah sakit jiwa tapi suamiku sendiri, ibu."

"Tidak! Zain tidak akan melakukan hal semacam itu karena ibu mengenalnya, dia tidak sejahat ayahmu. Dia tidak akan melakukan hal itu padamu," ucap ibu. Ibu begitu mempercayai Zain. Tapi bagaimana denganku? Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Bagaimana seseorang bisa mempercayai seseorang seperti dia mempercayai dirinya sendiri? Aku terdiam. Bingung harus mempercayai perkataan ibu atau tidak. Pikiranku penuh dengan hal-hal negatif hingga sebuah tangan menangkup pipiku dengan lembut.

"Dengarkan ibu. Kau tahu ibu tidak akan pernah menyakitimu. Ibu melakukan semua ini pasti ada alasannya. Ibu tidak akan membuatmu sedih. Ibu akan lakukan hal terbaik untukmu. Kau percayakan pada ibu?" Tanya ibu. Aku mengganggukan kepalaku sebagai jawaban. Kemudian bergerak memeluk ibuku. Merasakan kehangatan serta kasih sayang di dalamnya. Tidak lama kemudian, suara berdetam memekan telinga membawa kami ke alam sadar bahwa proses ini masih panjang. Suara berat seorang pria terdengar di luar kamarku.

"Boleh aku masuk? Ini aku Firdaus." Mendengar hal itu, ibu memintaku untuk menghampus air mataku. Aku yang mengikuti permintaanya segera menyeka air mataku. Tidak ingin membuat kakakku menunggu. Ibuku segera bangkit dari ranjang, bergerak membuka pintu kamarku. Menapakan kakakku yang sedang berdiri di depan pintu. Dapat kulihat, raut wajahnya berubah drastis setelah melihat diriku. Tatapannya juga begitu melekat kepadaku.

"Kenapa kau menangis?" Tanya kak Firdaus sambil menghampiriku. Aku tidak berniat menjawab. Tidak, jika aku berbohong kepada dia. Dia akan tahu. Aku hanya tersenyum kaku kepadanya seolah memberikan sebuah suasana yang bagus untuk ditular kepadanya.

"Aya menangis karena dia tidak ingin meninggalkan keluarganya, itu saja," ucap ibu.

Kakakku hanya berdecak seraya berkata,"kau ini, kau 'kan bisa mengunjungi kami di sini. Kami tidak akan pergi."

"Oke, sekarang Firdaus. Kau jangan ganggu ibu karena ibu akan merias wajahnya lagi. Lihat sekarang dirinya, dari tadi terus saja menangis hingga membuat riasannya terlihat buruk. Nanti jika dia seperti ini calon suaminya akan takut melihatnya." Kak Firdaus tertawa kecil mendengar gurauan ibu.

Ibu kembali mendekatiku, dengan tangannya yang cekatan. Ibu merias kembali wajahku sehingga terlihat pantas untuk ditunjukkan kepada semua orang. Aku yang sedari tadi mematut diriku di cermin hanya bisa memberikan senyuman palsu agar kakakku tidak curiga.

"Cepatlah! Jangan mempermalukan diriku di depan orang banyak. Kau ini sangat menyusahkan saja!!"

Suara dengan nada tinggi mulai menghiasi kamarku. Aku sangat mengenal suara itu... suara yang terkesan mengintimidasi yang jelas dimiliki oleh ayah tiriku. Aku menoleh ke belakang, menatap ayah tiriku yang sedang berdiri menyender di ambang pintu.

"Ayah. Bisa kau tak mencari keributan hari ini," ucap Firdaus dengan nada suara yang terkesan marah. Ayah tiriku hanya diam. Tidak lagi meladeni ucapan kakakku. Bagaimanapun juga, ayah tiriku memiliki rasa malu akan harga dirinya. Dia tidak akan memberitahu sifat aslinya di depan orang banyak. Ayah tiriku begitu mencintai harga dirinya yang tinggi.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang