DUA PULUH TIGA

4.5K 263 38
                                    

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT :)

*

Aku terduduk di ranjang, mengusap sampul buku harian itu dengan tisu berkali-kali agar kotoran yang terkumpul di sana lenyap. Jelas saat aku mengetahui buku itu milik Intan, aku begitu terkejut. Buku ini punya istri Zain pertama. Tanganku mulai gatal untuk melihat isi di dalam buku diari Intan.

Aku membuka buku harian Intan. Di saat bersamaan, sebuah kertas jatuh ke kakiku. Aku mengalihkan sejenak pandanganku pada sebuah foto yang berada di kakiku. Tanganku terulur, mengambil kertas foto itu dan membalikkannya. Dahiku mengernyit saat melihat sebuah foto anak perempuan yang sangat cantik dengan gaunnya yang berwarna merah. Rambutnya terurai panjang sampai melewati bahu.

Aku tidak tahu siapa gerangan anak kecil yang ada di foto ini. Apa mungkin Intan? Jika aku cermati, wajahnya begitu mirip sekali dengannya. Aku membasahi bibirku yang kering. Kemudian menaruh foto itu ke ranjang, dan melanjutkan kegiatanku untuk membuka buku harian Intan. Tanganku mulai membalikkan halaman sampul. Di sana, tepatnya di lembar pertama aku dapat membaca sebuah tulisan milik Intan;

4 Januari 2014

Tidak ada yang menarik, kurasa dalam seminggu ini. Lelah sudah menggerogotiku bertahun-tahun lalu. Tapi aku masih bisa berpikir untuk tidak mengakhiri hidupku. Hah! Pikiran yang selalu bergelayut manja selama bertahun-tahun lamanya selalu mengusikku kapan saja. Hari ini, seperti biasa. Tidak ada yang menarik. Aku harus bekerja setiap hari hanya untuk keperluanku--kurasa keperluan orang lain. Apalagi setiap malam aku harus menyiapkan tubuhku disentuh oleh pria-pria hidung belang. Aku tidak ingin berdusta, bahwa sebenarnya aku tidak pernah mau atau terjerumus dalam dunia semacam ini. Namun, aku sama seperti orang-orang yang terjebak dan tergerus oleh orang-orang jahat. Yang memamfaatkan bukan membantu. Aku benci pada hidupku, aku benci pada mereka yang berusaha memamfaatkan diriku. Aku tahu, aku hanya seorang pelacur di night club. Yang setiap harinya bekerja menjajakan tubuh bukan menyalurkan pemikiran atau gagasan menarik. Entah mengapa mereka membawaku ke sini dan mempekerjakan aku di sini.

Aku benar-benar tidak sudi. Tapi mau bagaimana lagi? Jika pun aku ingin keluar, aku tidak bisa. Aku tidak bisa kabur. Aku terjebak.

"Intan seorang pelacur?" Tanyaku. Dahiku berkerut. Tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tanganku bergerak kembali, membalikkan halaman berikutnya.

8 Januari 2014

Dalam pelajaran hidupku, aku selalu belajar untuk tidak selalu mempercayai seorang pria--walaupun tidak semua pria. Aku rasa, walaupun mereka bersikap manis, di dalam diri mereka terdapat serigala lapar yang bisa menerkammu kapan saja. Kaum pria seringkali menyalahkan kaum wanita, menganggap kalau kaum wanitalah yang salah jika terjadi pemerkosaan atau semacamnya. Mereka menganggap bahwa jika tidak dirayu, mereka tidak akan tersulut. Kurasa, itu ada pembelaan mereka yang masuk akal. Tapi, bagaimana dengan kaum pria yang datang langsung ke tempat yang seharusnya mereka tidak singgahi. Apa itu juga kesalahan wanita? Apa mungkin nafsu mereka yang tidak bisa tertahan? Jadi, adakah pembelaan lain dalam hal ini. Aku tidak tahu. Rata-rata pria yang datang ke night club tidak lebih dari pria-pria yang sudah menikah, memiliki anak bahkan cucu-cucu. Mereka melampiaskan keresahan mereka dengan wanita lain sedangkan ada wanita yang jadi miliknya yang menunggu di rumah. Dan kebanyakan dari mereka, berasumsi dan mengelak bahwa bukan kejantanan merekalah yang salah melainkan wanitanya. Wouh! Aku tidak akan bisa berhenti bagian ini.
Terlepas dari itu, aku mendapati pemandangan baru di night club. Seorang pria yang berlatar belakang pengusaha terkenal datang ke night club. Pria dengan segala kesenangannya. Aku tahu, pria semacam dia hanya memuaskan diri dengan datang ke sini. Biar aku deskripsikan orangnya, mungkin jika aku membaca catatan harianku lagi. Aku dapat mengingatnya. Emm... dari penglihatanku, dia memiliki rambut hitam yang legam, pakaiannya bukan menonjolkan melainkan mencetak tubuhnya. Dia pria tegap, dengan bahu yang tidak begitu lebar. Matanya dapat menyulut orang untuk takut padanya. Seolah-olah jika melihat matanya kau akan merasa terintimidasi. Hidungnya mancung, dan untuk beberapa saat aku menyadari bahwa kulitnya tidak putih pucat.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang