SEPULUH

4.3K 288 0
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT

BOLEH DONG KOMEN DI SINI, AKU SENENG DEH KALAU ADA YANG KOMEN :)

GAK BAKAL AKU GALAKIN KOK. AWOKWOKWOK

*

Dahiku mengernyit, tanganku mulai merasakan ada sesuatu yang bergetar dan panas. Aroma maskulin menyeruak di hidungku. Jelas, aku tahu aroma ranjangku seperti apa. Ini bukan aroma ranjangku. Desiran halus terasa pada puncak kepalaku. Aku sedikit menggerakkan tubuhku. Mataku mengedip-ngedip dengan tenang menuju kesadaran. Dan ketika mataku sudah sepenuhnya terfokus. Aku baru menyadari kalau di sisiku telah tertidur seorang pria yang kini tengah memelukku dengan erat. Aku berjengit kaget saat Zain menggerakkan tangannya memeluk pinggangku lebih erat lagi. Dia menenggelamkan hidungnya di rambutku. Jantungku berdegup tidak kentara. Perlahan, ingatanku kembali pada kejadian malam. Aku pikir, Zain akam meninggalkanku setelah aku tertidur. Tapi tidak, dia sepertinya sudah terlanjur mengantuk sehingga tertidur di tempat yang sama denganku. Aku sangat tahu tipe orang seperti Zain dalam menyikapi segala hal yang bukan miliknya. Jika bukan karena terpaksa dia tidak akan menolongku. Jika karena tidak sengaja, dia tidak akan tertidur di ranjangku, bersamaku dengan memeluk tubuhku dengan begitu erat. Jika saja... aku tahu, aku harus bersikap realita. Namun, sebuah keinginan seakan memupuk sesuatu yang tidak dapat aku dapatkan. Andai saja Tuhan mengabulkan permintaanku. Aku akan meminta Zain menjadi milikku hingga aku tidak akan melewati waktu ini dengan seorang diri. Aku mendesah pelan. Kudongakkan kepalaku agar bisa memandang wajahnya. Untuk beberapa saat, aku menyukai keadaan ini. Mataku menjelajah, mengamati setiap gurat di wajahnya saat tertidur. Bulu matanya cukup tebal, ada sedikit guratan di sebelah matanya. Ingin rasanya aku menjelajahi wajahnya dengan jariku, mengecup bibirnya dan membangunkan dirinya yang sedang sibuk di dalam dunia mimpi. Tetapi, aku sangat tahu kalau itu sangat tidak mungkin. Pergerakan apa pun akan membangunkan Zain dan kegiatanku ini akan terhenti. Ini konyol, hanya untuk mengamatinya saja aku perlu memperkecil kemungkinan pergerakan tubuhku agar tidak membangunkannya. Aku mulai meratapi diriku sendiri. Aku masih ingat, ketika dulu aku pernah menghadiri karya seni bersama kakakku di Michael Kohn Gallery, Los Angeles. Di sana, ada karya seni terkenal dari Mark Ryden. Dalam pertunjukkan ini Ryden mengeksplorasi pengalaman manusia modern. Ryden menjelaskan, "Beberapa orang melihat pohon-pohon besar dan merasakan semacam kekaguman spiritual melihat mereka, dan kemudian orang lain hanya ingin memotong dan menjualnya, mereka hanya melihat komoditas." Persamaan itu juga berada pada pernikahan. Menurutku--Some people, consider marriage is something that is so sacred. So that the value is so upheld. However, some people think that marriage is something that can be played. So that the sacred value in it is lost-- kesakralan pernikahan hilang saat maksud dari pernikahan itu membelok dari tujuan pernikahan. Dan aku berada pada tipe ke-dua, di mana pernikahan adalah sesuatu hal yang tidak memiliki nilai spiritual. Ribuan pertanyaan terpilah menjadi beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan kepada Zain; apa yang kau pikirkan Zain? Apa yang kau rasakan? Apa sebenarnya kita lakukan? Apa nilai pernikahan ini bagimu Zain? Dan... apa diriku di matamu Zain?

Sebuah pergerakan kecil timbul dari wajah Zain membuatku tertunduk dengan cepat dan berpura-pura masih terlelap tidur. Aku dapat mendengar Zain mengerang. Dia melepaskan pelukannya dariku dengan cepat. Aku rasa dia juga terkejut melihat dirinya sendiri tengah tertidur di ranjang orang lain dengan memeluk seseorang. Ranjangku bergerak, menandakan bahwa Zain beranjak pergi dari ranjangku. Zain bergegas pergi keluar dari kamarku, suara decit pintu yang terbuka lalu tertutup mengakhiri sandiwara untuk berpura-pura bahwa aku sedang tertidur. Mataku membuka dengan cepat, kuubah posisiku menjadi duduk. Bagai sebuah tamparan yang menyakitkan, aku mendapati diriku terkujur kaku di dalam ruangan yang begitu hampa dan gelap seorang diri. Menyadarkanku bahwa hubunganku dengan Zain bagaikan ruangan tersebut. Pernikahan ini tak dilandasi oleh perasaan. Lalu aku terus berharap bahwa mungkin saja, Zain menaruh perasaan yang sama denganku. Apa pun itu, rasanya tidak mungkin. Zain dengan perasaanya tidak akan pernah mau berlabuh dalam dermagaku. Mungkin aku harus sadar khayalan bodohku ini tidak akan menjadi nyata. Tetapi, biarlah malam kemarin menjadi salah satu bukti bahwa Zain hanya dekat denganku atas dasar menolong atau mungkin kasihan.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang