TUJUH

5.4K 333 29
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT :)

*

Setelah acara sarapan selesai. Zain berencana untuk mengajakku berkeliling rumahnya dengan sisa waktu yang dia punya. Karena katanya, dia akan pergi ke perusahaannya. Aku tidak tahu perusahaannya bergerak dalam bidang apa. Mungkin nanti Zain akan memberitahuku. Pria itu bergerak lincah, memberitahu setiap sudut rumahnya. Aku yang berada di belakangnya hanya mengikutinya sembari mengangguk seperti boneka yang terdesain hanya untuk mengangguk saja setiap kali ditekan kepalanya. Dalam perjalanan Zain untuk menunjukkan setiap tempat di rumahnya. Ada larangan yang tersemat untukku. Satu tempat yang tidak boleh kuinjakkan kakiku di sana. Tempat itu adalah ruang kerja Zain. Entah apa yang ada di dalamnya. Kurasa, sesuatu yang sangat penting hingga tidak boleh seorang pun terkecuali dirinya masuk ke dalamnya. Atau bisa saja, ada dokumen penting di ruang kerja Zain. Berhubung melihat sikapnya yang terlihat begitu terkesan tidak ingin mengubah apa yang terjadi atau tatanan yang sudah dia buat. Bisa jadi, Zain takut jika salah dokumennya tidak berada di tempatnya atau hilang karena ulah orang lain. Aku bisa memaklumi hal itu. Dia memutar tubuhnya, menatapku dengan seulas senyum.

"Sepertinya aku akan mempekerjakan pelayan kembali di rumah ini. Aku tak bisa meninggalkan dirimu sendirian di rumah ini," ucapnya.

"Tidak! Ma-ma-maksudku tidak," sergahku.

"Tapi kau akan sulit menanggung tanggung jawab ini. Kau seorang diri dan mengurus rumah ini sendiri adalah tindakan yang tidak pantas untuk aku lakukan terhadapmu. Lagi pula aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini," jelas Zain.

Aku mengerjapkan mataku berulang kali. Membasahi bibirku lalu berkata,"kau tenang saja, Zain. Aku bisa menanggung tanggung jawab ini. Kau tidak perlu mencemaskanku. Sikapmu yang kau bilang tidak pantas adalah salah. Aku sama sekali tidak keberatan." Aku tersenyum tipis. "Aku mohon Zain," lanjutku memohon.

"Tapi----" sebelum dia melontarkan kata yang dapat membuatku harus tertunduk dengan kemauannya. Dengan segera aku menyela pembicaraannya. "Aku mohon Zain. Aku mohon..." pintaku.

Dia memejamkan matanya sejenak sembari menghela napas berat. Sebelah alisnya terangkat. "Baiklah," ucapnya. Aku tersenyum lebar karena bahagia dengan kesetujuannya menerima keinginanku. Namun tiba-tiba saja jari telunjuknya teracung kepadaku. "Tapi yang perlu kau ingat. Ketika kau sudah tidak sanggup lagi menanggung tanggung jawab di rumah ini. Aku akan memanggil pelayan untuk bekerja di sini kembali dan membantu dirimu di rumah ini. Setuju?"

"Baiklah," jawabku. Zain tersenyum tipis. Dia kembali menurunkan tangannya. Dia pun melirik sekilas keadaan sekitar rumahnya. Sembari terdiam karena bahagia. Beberapa keinginan yang ada di otakku mulai berakar cepat. Inilah keinginanku dan rencanaku sejak dulu. Aku tidak ingin ada orang lain yang tinggal di sini terkecuali aku dan Zain, tentunya. Tidak apa jika aku hanya membersihkan rumah ini dapat membuatku lelah. Yang terpenting ada rasa nyaman yang memupuk dalam kehidupanku. Dan tentunya dengan kesetujuan Zain ini membuatku bisa leluasa berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata tanpa ketahuan. Lagi pula, waktu yang Zain di rumah ini hanya akan sebentar karena sebagian kehidupannya bukan di rumah ini tapi di perusahaannya.

Dari seluruh tempat yang Zain tunjukkan padaku. Ada satu tempat yang mungkin akan terus aku kunjungi, ruang musik. Di sana mungkin memang tidak terlalu banyak peralatan musik, hanya ada biola, piano, cello dan beberapa alat musik lainnya yang masih tersimpan rapi di tempatnya. Aku tidak tahu apa kegemaran Zain sama seperti diriku atau tidak. Atau kemungkinan lainnya bahwa dia hanya mengoleksi peralatan musik untuk sekadar mengisi ruang kosong di rumahnya saja. Entahlah, lagi pula apa ini penting untuk dipertanyakan?

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang