TIGA PULUH SEMBILAN

4.6K 261 31
                                    

Mataku melirik jam yang melingkar di tanganku. Aku mengembuskan napasku, kini sudah jam sembilan malam, tepatnya aku berada di luar rumahku malam-malam bersama Reyhan. Kami menghabiskan waktu bersama-sama, bersenang-senang, berjalan-jalan di kota ini pada akhirnya kami berakhir di restoran untuk mengisi perut kami. Hari ini terasa spesial untukku, entahlah. Mungkin hari ini aku bisa tertawa lepas dan tidak menyibukkan segala kerumitan masalah hidupku. Tanganku terulur mengambil tasku yang tersampir di kursi, mencari ponselku di dalam tas tersebut. Setelah dapat, kulihat panggilan dan pesan yang masuk karena aku sengaja mematikan notifikasi yang masuk ke dalam ponselku. Dapat kulihat, panggilan dari Zain sudah memenuhi panggilan masuk begitu pun dengan pesannya. Tapi kulihat panggilan masuk yang teratas yaitu, ibuku. Dia menelponku beberapa kali. Bukan hal yang biasa jika ibu menelepon sebanyak ini, pasti ada hal penting.

"Kau kenapa?" Tanya Reyhan yang ada di depanku.

"Ibu menelponku beberapa kali dan aku tidak menjawab panggilannya. Aku takut ada sesuatu yang penting," ucapku.

"Kalau begitu telepon ibumu."

"Aku memang akan melakukan hal itu," ucapku. Jariku menekan layar ponselku, bermaksud untuk menelepon ibuku. Panggilanku tidak dijawab ibu, malah suara operator wanita yang menjawab. Aku sudah beberapa kali menelepon ibu tapi selalu saja sibuk.

"Bagaimana?"

"Selalu saja sibuk."

"Nanti saja kau telepon ibumu," saran Reyhan.

"Iya, kau benar," ucapku sembari menaruh ponselku kembali ke dalam tasku dan menyampirkan kembali ke kursi. "Em... bagaimana kemarin? Apakah pemakaman tantemu berjalan baik?"

"Ya, berjalan dengan baik."

"Apa yang terjadi pada tantemu Reyhan?"

"Entahlah sayang, yang kutahu dia sakit."

Aku hanya berguman, mataku melirik ke arah lain. Menatap dua wanita yang sedang sibuk mengobrol, satu wanita membelakangiku sedangkan satunya lagi sebaliknya. Mataku memincing, berusaha memperjelas pengliatanku. Aku tidak salah liat. Wanita yang kulihat itu Dyndha. Dyndha ada di restoran ini dan aku bersama Reyhan. Apa yang akan dia bicarakan nanti? Aku tidak ingin mencari masalah dengannya. Aku kembali menatap Reyhan, "Reyhan, kita sudah selesai makan. Lebih baik kita pulang," ucapku.

"Kau yakin? Kupikir kau ingin ber--"

"Tidak! Aku ingin pulang. Lagi pula ini sudah malam," potongku yang sudah bersiap-siap dan beranjak dari kursi. "Ayo Reyhan."

"Oke, oke," ucapnya menaruh sejumlah uang di meja lalu beranjak dari kursi.

Aku mengambil langkah cepat untuk meninggalkan restoran ini. Di belakangku sudah ada Reyhan yang mengejarku. Ketika aku sudah di parkiran. Reyhan mencekal lenganku, menarik tubuhku untuk menghadap kearahnya.

"Kau ini kenapa?" Ucapnya setengah berteriak.

"Tidak apa-apa. Hanya saja aku ingin pulang cepat. Rasanya tidak baik kita pulang terlalu larut."

"Baiklah kalau begitu kau menginaplah di rumahku," dia menarik lenganku namun kutahan tubuhku agar tak mengikutinya. "Tidak! Aku tidak mau!" Balasku kepadanya.

Reyhan berbalik, menatapku dengan dahi yang mengernyit. "Kenapa?" Tanyanya.

"Karena aku... karena aku ingin di rumahku. Maksudku rumah Zain. Bukannya sebaiknya seperti itu," ucapku.

Dia terdiam, tangannya yang tadi menggegam lenganku dia lepaskan. Raut wajah begitu menunjukkan kalau dia sedang menahan kesalnya. Ia memalingkan wajahnya dariku, membuatku memegang tangannya.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang