DUA PULUH EMPAT

4.3K 257 16
                                    

Reyhan mengendarai mobilnya dengan intruksi jalan dariku. Walaupun rasa ingin tahunya lebih tinggi tapi aku tidak ingin memberitahu Reyhan kalau aku akan berkunjung ke rumah Dyndha. Kutatap lurus ke depan dan terlihat rumah Dyndha yang mewah. Sudah hampir dekat. Segera aku menyuruh Reyhan untuk memberhentikan mobilnya.

"Cukup di sini saja, aku akan ke rumah temanku sebentar."

"Kau yakin tak ingin kutemani?" Tanya Reyhan.

Aku mendesah pelan, tersenyum kecil ke arahnya. "Aku bukan anak kecil yang terus dijaga,Reyhan," ucapku.

Reyhan hanya terkekeh pelan, "baiklah, aku akan menunggumu di sini."

"Ok," ucapku yang langsung pergi meninggalkan mobil Reyhan.

Kutatap rumah Dyndha yang mewah tersebut, berjalan sedikit menuju gerbang rumahnya. Sampai seorang satpam datang dan berkata padaku, "Ada yang bisa di bantu nona?"

"Boleh aku masuk? Aku teman Dyndha," ucapku. "Apa Dyndhanya ada di rumah?"

"Oh.. nyonya ada di rumah nona, kau boleh masuk," ucapnya. Satpam itu membuka gerbang masuk, mengizinkan aku masuk.

"Terima kasih," ucapku, melesat pergi menuju rumah Dyndha.

Aku berhenti tepat di depan pintu rumah Dyndha. Tanganku terulur meneka bel, berulang kali. Hingga, pintu pun terbuka, menampilkan si nyonya rumah, Dyndha.

Dia tersenyum, sekaligus terkejut. "Hai Aliya," sapa Dyndha.

"Hai Dyndha."

Mata Dyndha mulai menjelajah di sekitarku. Tampak sedang mencari seseorang. "Di mana Zain? Dia tidak ikut?" Tanya Dyndha.

"Sudah kuduga," gumamku.

"Kau bicara sesuatu?"

"Oh tidak, aku hanya ingin menjawab pertanyaan kau. Ya, Zain tidak datang. Hanya aku yang ingin menemuimu," ucapku. Raut wajahnya berubah muram, kecewa dengan penunturanku. "Hem... yasudah, ayo masuk ke dalam," ajaknya. Dia menyisikan tubuhnya, membiarkan aku masuk ke dalam.

Aku terdiam sejenak, mengagumi selera rumahnya yang begitu bagus. Suara pintu yang berdetam menandakan Dyndha telah menutup pintunya. "Ikuti aku," ucap Dyndha. Dia berjalan melewatiku, membuatku mengikutinya dari belakang. Kami sama-sama berhenti di ruang tamu.

"Silakan duduk," ucap Dyndha. Aku mengangguk. Kemudian duduk di sofa yang berseberang dengan dirinya.

"Kau mau minum?" Tanya Dyndha.

"Tidak usah, lagi pula aku hanya sebentar di sini."

"Baiklah."

"Oh ya, bagaimana kabar Zain?" Tanyanya, begitu semangat.

Aku tersenyum, "baik."

Mataku menerawang seisi ruang tamunya. Di beberapa dindingnya berhias foto Zain bersama dirinya dengan ekspresi konyol. Melihat tingkahku seperti itu membuat Dyndha melontarkan penjelasan dari foto yang aku lihat.

"Foto itu diambil saat kami liburan dulu. Aku dan Zain melakukan ekspresi konyol dan tanpa kusangka ada yang memotret kami. Biasalah fotografer jalanan, foto itu dibeli Zain untukku. Rasanya lucu jika aku mengingat kembali momen itu." Aku bergumam tidak peduli.

Dyndha tersenyum lebar padaku dan berkata, "kau mau melihat foto lain, aku bisa menunjukkannya padamu?" Tawarnya. Dia ingin beringsut bangun dari sofa tapi segera aku cegah. "Tidak! Tidak usah," tolakku.

"Oh ayolah, tidak apa-apa, dengan senang hati aku akan menunjukkannya padamu," ucap Dyndha. Dia begitu kegirangan, jelas karena pembicaraan ini yang dia sukai. Dyndha beringsut cepat, melangkahkan kakinya cepat.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang