EMPAT PULUH TIGA

3.9K 295 72
                                    

Jalanan tergilas habis oleh hujan, beberapa lubang terisi oleh genangan air. Daerah sekitar rumah Zain tiba-tiba berubah menjadi lembap sehabis hujan. Aku mengeratkan jaketku saat kami memasuki daerah yang penuh dengan pohon-pohon rimbun yang menjulang tinggi, juga semak belukar yang tidak begitu diurus. Suara hiruk pikuk kota akan teredam oleh pepohonan yang agaknya menutupi akses orang untuk melihat dari atas sana dengan menggunakan helikopter. Aku dapat mendengar deritan dan kertakan kayu saat angin menerpa pepohonan, menjatuhkan sisa air hujan yang tergenang di dedaunan. Aku menoleh ke sisi, melihat Rizki berjalan di sisiku sedangkan Zain berada di depan, memandu kami. Tanah yang basah membuatku harus berhati-hati dalam melangkah, jika tidak mungkin aku terpeleset jatuh ke kubangan tanah.

"Hati-hati licin Aliya," ucap Rizki kepadaku.

"Ya," balasku tersenyum.

"Kulihat dari tadi kau tampak kebingungan. Apa kau belum pernah kesini?" Tanya Rizki padaku.

Aku mengggeleng tegas.

"Kupikir kau sudah tahu tempat ini," ucap Rizki. Rizki mengembuskan napas berat, "yah, kurasa kau kurang beruntung, bahkan kau kalah."

"Kalah?" Tanyaku kepada Rizki.

"Ya kau kalah cepat. Aku dan Sarah bahkan sudah tahu tempat ini apalagi sahabat kakakku," ucap Rizki.

"Sahabat kakakmu?" Tanyaku.

"Iya, Dyndha. Dia itu terkadang sering ke sini. Dan dia tahu tempat ini. Apa kau juga tidak tahu hal itu?" Tanya Rizki kepadaku.

"Diamlah Rizki," titah Zain kepada Rizki.

Rizki memberi senyuman bodohnya, mengerutkan hidungnya, "baiklah kak."

Rizki tidak bisa mengontrol bicaranya. Dia menceritakan apa yang ia tahu dan itu tentunya sangat menguntungkanku. Mungkin saja saat hilangnya Tania dia tinggal rumah Zain dan tidak menutup kemungkinan kalau dia juga bisa tahu. Bibirku membentuk lengkungan tipis. Kurasa aku tahu siapa yang perlu aku tanyai.

"Kita sampai," ucap Zain memberitahu. Zain sedikit menyisikan tubuhnya, membuat pandanganku tidak terhalang oleh tubuhnya. Di saat itu, dahiku mengeryit, mataku memincing melihat sebuah rumah panggung yang tidak begitu besar berada di sekitar tempat ini. Kami melangkah mendekati bangunan dari kayu tersebut.

"Siapa yang membangun rumah kayu itu?" Tanyaku. Zain menoleh ke belakang, "sebenarnya ini punyaku, walau dibantu oleh beberapa orang pekerja saat membuat ini," jawab Zain.

"Apa?!" Pekikku.

"Perhatikan jalanmu Aliya," seru Zain kepadaku.

"Hati-hati Aliya," ucap Rizki kepadaku.

Sesampainya di depan rumah kayu itu. Zain  melangkah lebih dulu ke undakan kayu menuju ke atas, diikuti oleh kami di belakang. Aku disuguhkan dengan pemangan indah setibanya di atas sana. Tanganku bergeraj mencengkeram pagar pembatas dari kayu. Mataku mengembara mencari sesuatu yang menarik. Beda hal nya dengan Rizki dan Zain yang kini tengah asyik berbincang. Di tengah ke kagumanku menatap tempat ini. Aku mendengar suara Tania memanggilku. Refleks mataku mulai mencari keberadaannya tapi aku tidak menemukannya. Kulihat situasi yang ada. Zain dan Rizki masih sibuk berkutat dalam pembicaraan mereka, membuatku memutuskan untuk turun ke bawah.

Kedua kakikku kini sudah menginjak tanah, mataku masih sibuk mencari keberadaan Tania hingga sebuah pacul tergeser dan jatuh. Dan hal itu yang membuatku mengarahkan pandangan pada benda tersebut. Mataku menyipit melihat sebuah tanda kecokelatan kering pada gagang pacul tersebut. Aku tidak berlama-lama dalam meneliti pacul itu, karena suara Tania membuatku kembali fokus pada tujuan awalku. Aku memutar tubuhku untuk mencari keberadaannya. Dan aku menemukannya. Dia tengah berdiri di sisi pohon mangga. Aku berlari kecil mendekatinya tapi dia tidak mau diam. Lagi-lagi aku kehilangan jejaknya ketika sampai.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang