EMPAT BELAS

5K 264 12
                                    

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT :)

*

Sarah hanya berkunjung sebentar karena ada urusan penting yang harus dikerjakannya sedangkan Zain, entahlah dia masih belum pulang. Kulirik jam yang melingkar di tanganku. Sudah pukul tiga sore. Zain masih belum ada kabar. Aku mulai khawatir. Pikiran negatif cepat sekali muncul di pikiranku. Aku tahu ini sangat berlebihan karena apa urusanku mengkhawatirkan dirinya sedangkan di matanya saja aku dianggap orang asing. Walaupun pada fakta publik hanya tahu kalau aku istri sahnya. Namun, berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.

Dengan rasa cemasku yang tidak bisa tertahankan, akhirnya kuberanikan diriku untuk menelepon Zain. Mungkin menurutnya tidak penting jika aku bertanya kabarnya tapi tidak denganku.  Aku akan tenang jika sudah mendengar suaranya.

Tangangku terlurur, mengambil ponsel di nakas dan segera meneleponnya. Aku menunggu dia menjawab teleponku tapi selalu saja gagal. Aku sudah berulang kali mencoba meneleponnya tapi selalu saja jawabannya---sedang di luar jangkauan.

Kulemparkan ponselku ke ranjang. Menghela napas panjang, kuseka keringat yang ada di atas bibirku. Aku cemas dengan keadaan Zain. Kugelengkan kepalaku mengusir pikiran negatif yang sedari tadi menggerogoti pikiranku. Mungkin pergi ke balkon cukup dapat membuat pikiranku setidaknya dapat tenang.

Kedua tanganku langsung mencengkeram pagar pembatas. Kudongakkan kepalaku, menatap langit yang tampaknya mulai redup. Hembusan angin mulai menyambutku, menerpa wajahku dan rambutku. Kututup mataku merasakan angin yang terus menerpaku. Hingga aku merasakan ada yang menarik ujung bajuku. Aku membuka kelopak mataku, mengarahkan pandangan pada pemilik tangan yang menarik bajuku, dapat kulihat sebuah senyuman jelas terukir di wajah bocah kecil yang tadi mengusikku.

Azril, bocah yang selalu ada di tangga dan biasa sering kujumpai. Entah kapan kami mulai menjadi teman. Aku mengubah posisi menjadi bertekuk lutut agar bisa sejajar dengan bocah kecil ini. Walaupun wajahnya pucat tapi hal itu tidak membuatku takut. Azril, bocah yang tampan. Pakaian tuxedo-nya selalu melekat di tubuhnya yang mungil.

"Ada apa sweety?" Tanyaku. Aku memanggil Azril dengan sebutan Sweety.

"Ayo kita bermain," pinta Azril. Aku mendongakkan kepalaku, menatap langit sejenak. Jari telunjukku ku arahkan ke atas.

"Tapi ini sudah malam," ucapku. Aku bukan ingin bersikap bodoh, karena sudah jelas, Azril adalah hantu, dan intensitas kehadiran mereka lebih padat di malam hari. Namun, aku hanya ingin membuat alasan agar tidak bermain dengannya untuk sejenak. "Tapi aku ingin bermain denganmu, Aliya," ucap Azril. Dia memiringkan kepalanya, wajahnya yang polos membuat hatiku luluh. Menghela napas dengan berat, tersenyum tipis ke padanya dan pada akhirnya aku mengikuti permintaanya. Sebelum itu, kunyalakan semua lampu di rumah ini, melakukan pekerjaanku seperti biasa. Kemudian, menghambur bermain dengan Azril.

Di dalam kamar, Azril terus saja berceloteh. Aku hanya bisa menatapnya sambil tertawa karena melihat tingkahnya. Dia anak yang nakal. Kenapa? Karena kebiasaannya yang selalu menggeser barang atau memindahkan barang di sembarang tempat. Bicara tentang Azril, dia anak yang tampan dan menggemaskan. Wajahnya yang perpanduan antara negeri barat dan asia terlihat mencolok di wajahnya yang pucat. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Azril meninggal mungkin bocah kecil ini meninggal karena sakit. Soalnya yang kulihat hanya bekas suntikan di tangannya dan hanya bekas itu saja. Tak ada sayatan atau bercak-bercak darah di pakaiannya atau tubuhnya. Tapi entahlah, itu hanya analisaku saja.

Drrttt....Drrrtt..

Lamunanku seketika buyar mendengar suara notifikasi ponselku. Dengan cepat kuambil ponselku yang ada di ranjang. Membuka pesan yang berasal dari Zain.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang