DUA PULUH

4.4K 271 6
                                    

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT :)

*

Aku sudah selesai mandi dan berpakaian. Kini aku sedang mempoles wajahku dengan make up yang tipis. Setelahnya, aku hanya mematut diriku di cermin dan mengingat kejadian malam yang sepertinya memalukan. Kukumpulkan semua ingatanku saat malam itu hingga aku teringat kalau aku sudah mengucapkan hal yang paling bodoh dalam hidupku. Aku mengungkapkan perasaanku pada Zain. Kini aku benar-benar malu menatap wajah Zain. Mengapa kemarin aku tak bisa menjaga ucapanku?

Kini untuk menatap wajahnya saja lebih menakutkan dari pada hantu yang selalu kulihat. Aku menyisir rambut depanku ke belakang dengan jari-jariku. Merutuki kebodohanku tadi malam. Benar kata Zain, saat seseorang mabuk dia akan berkata jujur dan payahnya saat itu aku sedang mabuk dan berkata jujur soal perasaanku.

Aku berusaha memikirkan rencana selanjutnya jika aku bertemu Zain. Sungguh aku benar-benar malu. Hingga semua itu tandas setelah melihat Intan ada tak jauh dariku. Cermin yang menampilkanku ternyata menampilkan dirinya juga yang sedang berdiri menatapku. Segera melihat hal itu, aku beringsut bangun dari kursi rias, menatap Intan yang sedari tadi menatapku.

"Intan."

Dia hanya diam hingga satu jarinya mengarah padaku. Aku mengernyitkan dahiku, bingung atas tingkahnya. Sedetik kemudian terdengar keras suara cermin yang pecah, sontak aku membalikkan tubuhku dan terkejut karena cermin itu sudah pecah dan hancur berkeping-keping. Aku menoleh ke belakang untuk menatap Intan kembali, ingin tahu apa maksudnya namun aku dibuat terkejut karena nyatanya Intan sudah ada di hadapanku, dia berdiri sangat dekat denganku. Hingga aku tidak bisa bernapas. Intan mulai mendekat ke tubuhku dan semua menjadi gelap.

*

Aku berdiri menatap sebuah tempat yang kukenali. Ini rumah Zain...
Aku sangat mengenal rumah ini tentu aku tak akan salah. Tapi hal apa yang ingin Intan tunjukan kepadaku hingga dia membawaku ke sini.

Aku memutar tubuhku mencari sosok Intan sampai suara jam besar membuatku terkejut. Suara itu menunjukkan jam tiga pagi. Jam itu biasanya sebagai petunjuk kemunculan Intan tapi aku tak mendapati Intan di sini. Sedetik kemudian suara gedoran pintu membuatku terkejut setengah mati. Suaranya begitu keras hingga membuatku takut. Aku masih mematung diam, tak berani untuk bergerak maju sampai suara Intan menjerit terdengar jelas di telingaku. Suara jeritan dilanjut dengan suara ia memanggil Zain. Lututku seperti ingin lepas karena ketakutanku mulai memuncak setelah melihat benda seperti guci pecah tanpa ada yang menggeser atau apapun yang bermaksud memecahkannya. Bahkan aku tak melihat sosok apa pun di tempatku berdiri. Cahaya remang-remang membuatku tak dapat melihat sekitarku dengan jelas.

*

Seperti roh yang kembali ke raganya. Aku langsung tersadar dengan napas yang tersengal-sengal. Lututku yang lemas membuatku merosot jatuh ke lantai yang dingin. Aku berusaha mengatur napasku yang terasa begitu lelah. Tanganku begitu dingin ketika menyetuh wajahku bermaksud mengusap wajahku yang kini berkeringat. Aku terus memikirkan kejadian tadi. Apa makdud Intan melakukan hal itu? Lalu dengan kejadian berurutan itu, apa Intan ingin memberitahu kejadian saat kematiannya?

Tanganku masih gemetar. Ini benar-benar menakutkan untukku. Jari telunjukku sudah memdekat ke mulutku berusaha meredakan kecemasanku sejenak. Perlahan-lahan aku sudah bisa mengendalikan emosiku. Akhirnya aku berdiri dan pergi dari kamar ini, ingin bertemu Zain atau sahabatnya berusaha mengorek-ngorek informasi dari mereka.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang