DUA BELAS

5.8K 307 15
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT :)

*

"Kenapa kau tak menginap saja di sini?" Tanya ibu kepadaku.

"Tidak ibu. Lagi pula Zain sedang sibuk jadi tidak enak juga kalau aku tinggal dia sendirian," dustaku kepada ibu.

"Ya ibu. Kami akan sering-sering ke sini," ucap Zain kepada ibu.

"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati kalian di jalan," ucap ibu kepada kami.

"Iya ibu," ucapku.

Zain membukakan pintu mobil depan untukku. Segera aku masuk. Dia berlari kecil di depan mobil, lalu membuka pintu mobil dan masuk. Kulambaikan tanganku untuk membalas perlakukan ibu kepada kami.

Deru mobil terdengar, Zain pun melajukan mobilnya meninggalkan tempat ini. Di dalam mobil lagi-lagi terjadi keheningan. Aku melirik sekilas Zain yang sedang mengemudi. Kusenderkan punggungku ke jok mobil. Menggosok tanganku, berusaha meredakan rasa dingin di tubuhku. Ekor mataku menangkap tangan Zain sedang mematikan AC mobil.

"Apa kau sangat kedinginan?" Tanya Zain.

"Tidak terlalu."

Zain menepikan mobilnya ke sisi jalan yang sepi. Dahiku mengernyit saat dia memutar tubuhku ke belakang, meraih sweater di kursi belakang. Lalu dia memberikannya padaku. Aku mengerjapkan mataku, masih tidak percaya dengan perlakuan Zain.

"Untukmu, pakailah," ucap Zain. Aku menerima sweater miliknya. Kemudian memakainya. Kulipatkan tanganku di dada.

"Sudah merasa enakkan?" Tanya Zain. Aku mengangguk kecil sebagai balasan. Tatapanku beralih ke depan setelah Zain kembali menyalakan mesin mobilnya. Di luar begitu gelap. Aku mengembuskan napasku kasar. Kurasa jika berjalan seorang diri di tempat semacam ini akan sangat menakutkan.

"Jika kau ingin tidur, tidur saja. Nanti jika sudah sampai rumah. Aku akan membangunkanmu," ucap Zain. Aku tidak banyak bicara. Aku hanya mengangguk mengerti. Kutolehkan pandanganku ke sisi kaca, melihat deretan pohon yang seolah berjalan. Aku mengerutkan hidungku dan memejamkan mataku untuk tidur.

*

ARRGGHH...!!!

ARRGGHH...!!!

Mataku terbuka dengan cepat, dengan degupan jantung yang masih berpacu, pandanganku mulai mengembara. Suara jeritan wanita yang begitu memekakan di telingaku membuatku panik setengah mati. Aku masih dapat merasakan mobil berjalan. Pandanganku masih tertuju ke sisi kaca, dan yang terbenak dalam pikiranku adalah Zain. "Zain! Zain! Kau dengar suara jerit--" ucapanku tertahan di kerongkongan setelah melihat bukan Zain yang sedang duduk di kurai kemudi. Punggungku menabrak kursi mobil. Tanganku mencengkeram sofa mobil, tatapanku terpaku pada sosok pria yang wajahnya sudah hancur, darah berlumuran di sekitar tubuhnya. Aku dapat melihat mata kirinya sudah merosot jatuh ke pipi. Ketakutanku memuncak saat sosok itu menoleh kepadaku.

"Aku mendengarnya sayang...." sebelah tangannya terulur untuk menyentuh tubuhku. Aku langsung menjerit keras, berusaha untuk menghindar darinya. Tanganku bergerak untuk membuka pintu mobil tapi tidak bisa. Aku memukul-mukul kaca mobil.

"Siapa saja tolong aku!!" Teriakku. Tanganku mengepal dan kembali memukul-mukul kaca. "Tolong!! Tolong!!"

Tiba-tiba saja sebuah tangan sudah mencengkeram bahuku dengan kuat.

"Kau tak akan bisa pergi kemana-mana Aliya... Aliya... Aliya..."

Aku tersentak kaget, mataku mengerjap beberapa kali saat merasakan seseorang telah mengguncang-guncang bahuku. Dan tepat mataku sudah fokus. Aku mendapati Zain sedang membangunkanku.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang