Ada puluhan pertanyaan yang tersemat di otakku. Dan puluhan itu berubah menjadi satu pernyataan yang menentang sekaligus mengancam setelah ibuku berada di hadapanku. Sebagian diriku ingin memberontak dalam intensitas yang belum pernah aku keluarkan sebelumnya. Seolah-olah seperti hewan yang sedang terancam hidupnya. Aku ingin memberontak keras, mengancam jika perlu tapi aku tidak seberani itu untuk bertindak. Nyatanya aku hanya seekor burung yang terkukung di dalam sangkar emas. Burung yang berteriak memprotes ingin dibebaskan namun teriakan itu tak di mengerti oleh mereka. Sehingga teriakan mereka dianggap sebagai kicauan indah seperti alunan kata-kata puitis yang dibuat oleh penyair yang handal.
Aku bangkit dari tempatku saat ibu mulai bersiap untuk berbincang denganku. "Ibu tahu kau pasti di sini. Ibu ingin membicarakan hal penting padamu," ucapnya serius sambil memegang salah satu tanganku tapi segera kutepis tangannya dan berkata, "ibu ingin menikahkan aku, kan?"
Ibuku tersentak kaget mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari bibirku. Dia mulai sedikit tergagap-gagap seolah ketahuan telah mencuri sesuatu dariku.
"Dari mana kau tahu?" Tanya ibu.
"..."
"Oke, kau benar. Ibu akan menikahkanmu karena ibu tidak ingin melihatmu masuk ke rumah sakit jiwa," ucap ibu.
"Yang benar saja ibu! Dengan tidak membuatku masuk rumah sakit jiwa. Ibu malah memasukkan aku dalam dunia yang penuh sakral akan makna," batinku berteriak. Tangannya terbuka, siap untuk memelukku namun dengan cepat aku menghindar.
"Kenapa harus menikah?!" Keluhku pada akhirnya. Tak bisa membendung lagi rasa kesal yang menyerang hati serta pikiranku.
Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Dia memejamkan matanya sejenak. Berusaha membuat situasi ini mendingin. Dia bergerak lembut menyentuh tanganku. "Ikut ibu," ucapnya. Dan aku diam, tidak memberontak saat ibuku membawaku pergi meninggalkan taman ini. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertindak se-menyedihkan mungkin. Ada di relung hatiku ingin menangis, membanting benda apa saja agar aku bisa melampiaskan rasa kesalku serta rasa kecewaku. Dan ketika langkah kami terhenti. Kami sudah berada di dalam ruangan yang tertutup. Ibu mulai melepaskan tangannya dariku. Dia menatapku dengan sudut bibir yang sedikit tertarik.
"Kenapa ibu membawaku ke sini?" Tanyaku saat pertama kali memasuki ruangan ini.
"Karena ibu tidak ingin ada orang yang tahu tentang masalah kita ini," jawab ibu.
"Tapi usaha ibu itu percuma saja karena ayah dan ibu sendirilah yang membongkar semuanya dengan pertengkaran kalian!" Protesku yang tak bisa kutahan lagi. Air mata kembali menjadi penghias wajahku.
"Maafkan ibu, Aliya."
"Kenapa ibu sampai berpikiran kalau aku harus menikah?" Tanyaku.
"Karena ibu tak bisa memikirkan solusi lain selain menikahkanmu. Lagi pula umurmu sudah dua puluh enam tahun. Di umurmu itu, kau sudah pantas menikah dan bukan itu saja. Ada yang lebih penting lagi hingga ibu berpikir untuk menikahkanmu," jelas iby.
Aku mengernyitkan keningku dan berkata, "apa itu?"
"Kau sudah dilamar dan ibu sudah menyetujui lamarannya," jawab ibu.
Untuk sejenak aku tercengang bukan main. Aku menggelengkan kepalaku, tak percaya dengan berita yang baru saja ibu beritahu. "Apa?! Kenapa ibu mengambil keputusan tanpa sepengetahuanku!" Kesalku.
"Maaf sayang. Ibu terpaksa melakukan hal ini. Kau tahu 'kan keadaan ibu," lirih ibu. "Tidak ada yang bisa membantu ibu untuk tetap mempertahankanmu. Ayahmu tidak menyukai. Seseorang harus ada di pihak kita, membantu ibu terutama dirimu."

KAMU SEDANG MEMBACA
ALIYA (SUDAH TERBIT)
Horror#beberapa kali rank 2 dalam horor Entah anugerah atau kutukan! Memiliki kelebihan tidak menjadikan aku istimewa melainkan dikucilkan. Mereka menganggapku GILA hanya karena aku memiliki kemampuan yang tak semua orang punya. Bahkan, ibuku sendiri mem...