SEBELAS

4.6K 307 3
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT :)

*

Kami terduduk di sofa, membicarakan segala hal yang sebenarnya sudah menjadi hal biasa, tertawa bersama dengan pembicaran atau celetuk konyol yang keluar dari bibir kami.

"Jadi kapan kakak akan menikah?" Tanyaku kepada kak Firdaus. Jelas, pertanyaan yang begitu sakral untuk orang yang belum menikah ini mengandung banyak arti yang cukup dalam. Seolah, pertanyaan tersebut adalah sebuah mantra yang begitu hebat yang bisa membuat orang bisa kabur ketika bertemu teman, sahabat, keluarga yang bertanya demikian. Jadi, mungkin jika kakakku ke rumah Zain dalam situasiku yang tidak bisa dianggap baik. Aku akan memakai kata-kata itu agar kakakku enggan berkunjung ke rumah Zain. Tapi perihal hal itu, mengapa kakakku belum mau menikah hingga sekarang adalah karena diriku. Ayahku pernah menyindir diriku, dia bilang dia khawatir jika calon istri kakakku nanti akan malu memiliki adik ipar yang gila. Tapi, benarkah begitu? Ayolah, kenapa segala hal yang buruk selalu dijatuhkan kepadaku? Seolah aku bernapas saja adalah sebuah kesalahan.

Kak Firdaus sedikit mengerang, "kau seperti ibu Aliya. Selalu saja membahas pernikahan," ucap kak Firdaus kesal. Aku terkekeh pelan, menyeruput sedikit Teh-ku.

"Lalu kapan kau akan memberikanku ponakan?" Tanya kak Firdaus. Aku tersedak oleh Teh-ku sendiri, terbatuk-batuk karena terkejut oleh pertanyaan kakakku. Aku dapat melihat sudut bibir kakakku terangkat. Sekarang dia menang. Segera, aku meletakkan cangkir berisi Teh ke meja. Kemudian bersitatap dengan Zain. Ingin rasanya aku bilang bahwa aku tidak akan bisa memperoleh anak dari Zain. Aku tidak akan bisa memberikan ponakan pada kakakku atau cucu untuk keluarga ini jika aku masih terikat pernikahan dengan Zain.
Bagaimana tidak? Aku dan Zain saja bahkan tidak saling menyentuh. Apalagi mengharapkan seorang anak muncul dalam hubungan semacam ini. Itu sangat mustahil.

"Kau ini Firdaus. Memang membuat anak itu mudah," bela ibuku.

"Nah aku juga sama ibu. Memang mencari wanita yang pas dengan kriteriaku itu mudah," balas Firdaus kepada ibu.

SKATMATT.

Harusnya, aku tidak mengawali keributan ini dengan bertanya soal pernikahan kepada kakakku. Aku berdeham keras, berusaha meredakan ketegangan yang ada.

"Oh ya Aya. Kau sudah bertemu dengan Reyhan?" Tanya kak Firdaus kepadaku. Bibirku sudah terbuka, siap menjawab namun Zain sudah terlebih dahulu melontarkan kata di bibirnya.

"Reyhan?" Tanya Zain bingung.

Kerutan di dahi kakakku muncul. "Owh... kau belum tahu ya? Reyhan itu sahabat Aliya," ucap Firdaus kepada Zain.

"Kenapa kau belum memberitahu suamimu Aya?" Tanya kak Firdaus kepadaku. Memangnya harus ya kak?--batinku. Aku yang sekarang bingung harus menjawab apa pada kakakku. Aku menggigiti bagian dalam bibirku, berusaha penuh menghindar dari pertanyaan semacam ini. "Ngomong-ngomong sebelum itu, aku ingin tahu terlebih dahulu. Dimana kalian bertemu?" Tanyaku berusaha mengubah topik pembicaraan.

Untuk sejenak, semua terdiam sampai kakakku yang angkat bicara perihal pertemuannya dengan Zain. "Aku bertemu Zain saat di jalan. Dia membantuku mengatasi mobilku yang sedang mogok. Berhubung jalan yang sedang aku lewati saat itu sedang sepi. Dan yang terlintas saat itu adalah mobil Zain. Jadi, aku meminta bantuannya," ucap kak Firdaus bercerita. Aku menganggukkan kepalaku, tersenyum simpul.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang