SEMBILAN

4.7K 326 7
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT

BAKAL DOUBLE UPDATE KALAU KOMENNYA BANYAK :)

*

Tidak terhitung berapa kali aku menyeka air mataku. Aku menatap pantulan wajahku di kaca spion. Betapa buruknya penampilanku. Mataku bengkak dan memerah, bagian ujung hidungku juga memerah. Aku mengusap wajahku kasar, menata rambutku, mengucir rambutku satu. Aku menghela napas panjang sembari memejamkan mataku sejenak sebelum keluar dari mobil. Dan ketika aku sudah berada di luar mobil, aku mendesah peluh. Aku harus berusaha untuk tetap tenang dan terlihat baik-baik saja saat masuk ke dalam rumah. Pasalnya, aku tidak mungkin bertindak sedemikian rupa yang dapat membuat Zain bertanya-tanya tentang keadaanku yang memburuk ini. Aku mulai berjalan menghampiri pintu utama, terdiam sejenak untuk membuka pintu. Tanganku sudah menggenggam gagang pintu. Lalu kutarik pintu tersebut lebar-lebar. Aku mendongakkan kepalaku untuk menatap ke depan. Dahiku mengernyit, tidak ada siapa pun di ruang tengah. Terlihat begitu sepi, seolah tidak ada kegiatan apa pun di dalam rumah. Mungkin Zain pergi. Ini sebuah keberuntungan yang belum pasti. Aku tidak tahu apakah Zain benar-benar tidak ada rumah atau Zain sebenarnya ada di rumah namun sedang sibuk di ruang kerja. Tidak ada yang tahu terkecuali aku memastikannya. Tetapi, tidak ada waktu untukku sekarang mencari tahu. Yang jelas, aku perlu menghindar dari Zain dan pertanyaan-pertanyaan yang akan dia lontarkan kepadaku saat melihat wajahku yang mengkhawatirkan. Segera aku masuk ke dalam rumah, berbalik untuk menutup pintu. Dan ketika, aku sudah siap untuk pergi. Aku mendengar derap langkah kaki menghampiriku, sontak saja itu membuatku terkejut dan membuatku menahan untuk pergi dari tempatku berdiri.

"Apakah berjalan-jalanmu menyenangkan, Aliya?" Suaranya berat khas suara Zain. Tidak dapat kupungkiri bahwa Zain memang berada di rumah dan dia tengah berada di belakangku. Kugigit bagian bawah bibirku, berusaha untuk tetap tenang namun aku tidak bisa. Perasaan yang aku tampung dari kejadian itu sampai sekarang masih memupuk dan mengembang lagi ketika aku mengingatnya. Aku mengepal tanganku erat-erat hingga buku-buku jariku memutih. Aku dapat mendengar derap langkah kakinya semakin mendekat menghampiriku.

"Aliya?" Aku pun berbalik, mendongakkan kepalaku untuk menatap wajahnya. Di saat itu, aku dapat melihat perubahan cepat raut wajahnya yang berubah menjadi begitu mengkhawatirkanku. Dahinya mengernyit, tangannya ingin menyentuh diriku namun sesuatu yang ada pada dirinya masih menahan untuk bertindak. "Ada apa denganmu Aliya?" Tanya Zain.

Bibirku bergetar, tidak bisa lagi menahan beban yang aku bawa di dalam hatiku. Aku pun mulai menangis, punggungku bergetar, kepalaku tertunduk, menatap ke lantai. Yang tidak dapat aku sangka adalah saat Zain mulai mencurahkan rasa simpatinya dengan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dia memelukku membuatku membenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Aku tidak peduli dengan kaus-nya yang basah akibat air mataku. Siapa yang peduli dengan keadaan sekitarmu saat kau sedang menangis? Zain berusaha untuk menenangkanku. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut.

"Ada masalah apa Aliya? Ada yang menyakitimu?" Tanya Zain. Aku sama sekali tidak menjawab dan tidak berniat untuk menjawab. Siapa pun yang berada di posisiku akan menjaga kerahasiannya. Dalam bagian hatiku, ada rasa nyeri yang tidak tertahan antara begitu sangat kecewa dan disakiti. Entah kenapa aku merasa bersalah kepada Zain. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bukan berasal dari diriku. Tapi tetap saja, aku sudah merusak kepercayaan yang Zain berikan kepadaku.

Perlahan-lahan, aku sudah bisa mengontrol emosiku. Tangisanku perlahan mereda. Kulepaskan pelukanku dari Zain begitu pun dengan Zain. Pria itu menurunkan kepalanya untuk menatapku.

"Ada apa Aliya? Ada yang menyakitimu?" Tanyanya berulang. Aku mendongak menatap wajahnya. Terdiam cukup lama. "Andai kau seperti ini. Andai saja kau mencintaiku, Zain. Andai saja pernikahan ini tidak pernah terjadi di antara kita. Aku tidak akan mungkin merasakan perasaan yang berkecamuk semacam ini," batinku berteriak.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang