EMPAT PULUH DUA

4.6K 225 86
                                    

Aku duduk di ranjang, dalam waktu yang cukup lama di sana. Aku hanya melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak produktif. Melirik jam weker yang kini sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh dua menit malam. Sebenarnya aku tengah menunggu Zain pulang. Untuk beberapa jam terakhir ini, aku mulai cemas dengan keadaan Zain. Ingin rasanya menelepon dirinya namun kutahan, sebaiknya aku tetap pada peranku menjadi egois dan angkuh. Itu bahkan lebih baik. Aku beringsut bangun dari ranjang, mendekati lemari, bermaksud mengganti bajuku dengan sleep dress. Setelah dapat, kusampirkan dress tersebut di tangan kiriku, beralih mendekati kamar mandi untuk mengganti baju. Aku bergegas untuk mengganti bajuku. Kemudian, ketika gaun tidur itu telah terbalut di tubuhku, aku mulai menguraikan rambutku dan berjalan keluar dari kamar mandi. Beralih berjalan mendekati meja rias untuk menyisir rambutku. Tanganku bergerak memegang sisir dan mengayunkan sisirku ke arah rambutku yang panjang.

Terdengar derit pintu yang mengayun terbuka. Pandanganku berubah ke sumber suara. Aku terkesiap mendapati Zain masuk dengan santai tanpa mengetuk pintu kamarku terlebih dahulu.

"Maaf aku terlambat pulang," ucapnya.

"Pergi dari kamarku Zain."

"Bukannya tadi pagi aku sudah memberitahumu kalau aku akan tidur di kamarmu."

"Tapi--"

"Ingat ini rumahku. Kamarmu adalah kamarku juga," potongnya tegas. Aku memberi raut tidak sukaku pada Zain. Aku meletakkan sisirku ke meja dengan sedikit menyentak. Aku berbalik, menatap gerak-geriknya yang mulai berjalan mendekati ranjang. Tanganku bersedekap di depan dada.

"Sampai kapan kau akan tidur di kamarku?" Tanyaku.

"Selama kita masih menjadi suami istri Aliya," ucapnya, dia duduk di ranjang.

Aku memalingkan wajahku, mengumpat berbisik, "sial, malam ini aku tidak akan bisa tidur." 

"Kalau kau tak bisa tidur, aku yang akan membuatmu tidur," ucapnya membuatku salah tingkah.

Dia mulai berbaring di ranjangku, menatapku yang sedari tadi terpatung diam.

"Jangan terus berdiri, tidurlah Aliya," ucapnya sambil menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong. Aku bergerak menutup pintu lalu mendekati ranjang. Aku terdiam sejenak di sisi ranjang, menatap nanar ranjangku. Aku meringis di dalam hati kemudian dengan tenang, aku merangkak naik ke ranjang, duduk sejauh yang aku bisa agar Zain tidak berani berbuat macam-macam padaku. Aku meraih guling, meletakkan guling tersebut di tengah kami.

"Ini wilayahku, itu wilayahmu," ucapku sambil menunjuk sisi ranjang. "Jangan sekali-kali kau mengubah posisi guling ini."

"Terserah kau."

Aku menelan ludahku, merebahkan diriku di ranjang, menarik selimut sampai dada, mengubah posisiku sedikit untuk mematikan lampu, setelahnya kembali ke posisi semula.

"Selamat malam Aliya," ucap Zain.

Aku mengubah posisi tidurku menyamping, menatap lampu tidurku. Aku bergumam pelan membalas ucapan Zain, "selamat malam Zain."

*

Aku menggeliat dan merasakan sesuatu yang menimpa perutku, aku menyisikan kepalaku ke sisi dan aku merasakan sebuah embusan napas hangat di leherku. Mataku mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadaranku secara penuh.

Mataku melihat ada sebuah tangan yang kokoh memeluk perutku begitu erat. Kepala Zain sudah menyelusup di leherku. Aku menghela napas dengan berat, percuma tadi aku mengancamnya tetap saja dia tidak akan menuruti perkataanku, bahkan guling sebagai pembatas kami pun sudah dia taruh di belakangnya. Rasanya kalau begini aku tak bisa melanjutkan tidurku, jadi dengan usahaku untuk bebas dari posisi yang mendesakku. Kugenggam tangannya yang ada di perutku, kuubah posisiku berusaha menjauh darinya. Kemudian, kuletakkan tangannya di sisi ranjangku. Sebisa mungkin aku tidak mengganggu tidurnya. Hingga pada akhirnya aku bisa lolos. Kini aku tengah berdiri di sisi ranjang, menatapnya dengan mata yang memincing. Zain tengah tertidur pulas, badannya meringkuk. Dia sedikit mendekur pelan dan embusan napasnya menderu ringan. Aku berjalan meninggalkan ranjang dan pergi menuju balkon. Tanganku terayun membuka pintu balkon, berjalan sedikit mendekati pagar penyangga. Tanganku bergerak mencengkeram besi dingin itu, sebelah tanganku bergerak menyampirkan rambutku ke sebelah kiri. Angin mendesau membuat tirai mengelepak. Aku terpaku diam di sana, menikmati terpaan angin dingin mendesir tubuhku. Pikiranku berkelana. Mencari sesuatu yang dipusatkan. Aku memikirkan rencanaku. Ini sudah di luar kemampuanku. Dengan kedatangan Rizki ke sini entah bernasib baik untukku atau buruk. Semuanya hanya akan menjadi sebuah pertanyaan dan lagi-lagi hanya waktu yang akan menjawab.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang