TIGA BELAS

4.5K 267 8
                                    

REMEMBER VOTE AND COMMENT :)

*

      Aku bangun lebih awal dari Matahari. Jam weker sudah menunjukkan pukul lima pagi. Aku berencana untuk jogging di sekitar rumah. Kini aku tengah bersiap. Kuikat rambutku satu. Memakai tanktop lalu ditutupi oleh jaket yang kuritsleting sampai batas dada. Kupakai celana olahragaku dengan sepatu.

      Membawa ponselku, kutancapkan earphone-ku di ponsel. Segera aku keluar dari rumah, pergi meninggalkan rumah ini. Aku berlari kecil, memasukkan earphone ke telingaku, kunyalakan musik yang dianjurkan Arum-temanku untuk kudengar. Menaruh ponselku di saku jaket. Dia menyuruhku untuk mendengarkan lagu terbaru yang menurutnya bagus. Sembari berlari kecil, kunikmati lagu tersebut. Sialnya, Arum selalu saja menganjurkan aku mendengarkan lagu yang sedih. Arum seperti menjailiku, memang hidupku tak ada gembiranya apa? Itu menjengkelkan.

      Lagunya terhenti, membuatku menghentikan langkah. Kurogoh ponselku di saku jaket, melihat nama yang tertera di layar. Tertanda, Firdaus. Jariku menggeser layar ponsel ke arah hijau. Napasku belum sepenuhnya teratur.

      “Halo ...,” terdengar suara pria di seberang sana.

      “Ya?” tanyaku sembari mengatur napas.

     “Mengapa suaramu terengah-engah?”

    Dahiku mengernyit. “Hah?”

   “Apa kau sedang—”

   “Sedang apa?” tanyaku.

    “Oh sial! Aku pasti sedang mengganggu aktivitas kalian, silakan lanjutkan kembali aktivitas kalian yang sempat tertunda karenaku. Oh ya! Semoga berhasil!”

     Panggilan pun terputus, dahiku bahkan masih mengernyit sampai sekarang. Terdiam cukup lama, berusaha mencerna perkataan Firdaus. Kerutan di dahiku seketika hilang, aku menggeram kesal.

     “Sial! Aktivitas?! Semoga berhasil?! Jadi dia berpikiran kalau aku sedang—” aku mengerang kesal. “Oh Shit! Tidak adakah pikiran lain selain terjerumus pada hal seperti itu,” makiku kesal. Kupejamkan mataku sejenak sembari menarik napas panjang. Kulepaskan aerphone-ku di telinga dan ponsel. Kumasukkan benda tersebut ke saku jaket sebelahnya lagi. Kugenggam ponselku karena siapa tahu Firdaus meneleponku kembali. Mungkin... dan tanpa kusangka, dalam hitungab detik ada panggilan masuk. Dengan cepat kuangkat panggilannya.

     “Dasar Mesum! Kau tak bisa apa ber—”

     “Zain!! Tidak!! Tidak!! Kumohon jangan sakiti aku!! Tidak!! Jangan bunuh aku, Zain!!”

    “Halo, halo. Siapa kau?!!” teriakku. Jantungku berdegup kencang. Aku panik karena wanita yang meneleponku tak menjawab. Dia terus menjerit dan menyebutkan nama Zain.

Tut... Tut... Tut...

     Panggilan terputus. Napasku tercekat. Aku bingung harus berbuat apa? Satu hal yang terpikirkan di otakku. Aku harus kembali ke rumah Zain. Tanpa buang waktu, aku memutar arah, kembali ke rumah Zain.

    Kakiku berheti melangkah setelah sampai di ruang tamu. Melihat Zain di sana, tengah duduk sembari membaca korannya. “Zain! Zain!” panikku.

    Dia menatapku, meletakkan korannya ke sisi sofa kosong, beringsut bangun dari tempat duduknya. Mendekat ke arahku.

     “Ada apa Aliya?” tanya Zain cemas. Aku memejamkan mataku, berusaha mengatur napasku. “Zain! A-a-aku mendapatkan telepon. Dia menghubungiku tapi aku tidak tahu siapa dia. Wanita, wanita itu berteriak meminta ... meminta—”

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang