LIMA BELAS

4.6K 279 2
                                    

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT :)

*

Aku duduk di lantai dekat dengan ranjang, kedua tanganku saling bertumpuk, menjadi bantalan untuk kepalaku. Pandanganku terpusat ke depan. Sinar matahari menyorot langsung ke sebelah mataku karena tirai-tirai yang belum sepenuhnya tertutup rapat. Aku masih enggan untuk beranjak dari tempatku, sama sekali tidak berminat untuk membuka tirai. Biarlah seperti ini. Lagi pula, walaupun aku membuka semua tirai di sini, tidak akan mengubah apa pun. Duniaku akan tetap suram---Kau sendiri yang membuat dirimu sakit, Aliya! Pikiranku terus mengatakan kalimat tersebut.

Lamunanku seketika membuyar saat mendengar pintu yang terketuk keras di kamarku. Aku membiarkannya, mataku menangkap kosong pada pintu. Semakin lama, suara ketukan itu bertambah dengan suara barinton yang memanggil-manggil namaku. Aku mendesah pasrah, beringsut bangun dari tempatku. Melangkah lebar menuju pintu. Tanganku terulur, menggenggam kenop pintu. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Mengumpulkan semua keberanianku untuk menatapnya kembali.

Aku menarik pintu, dan dapat kulihat Zain kini berada di hadapanku. Aku sedikit menyender ke pintu, tanganku masih memegang kenop pintu.

"Ada apa?" Tanyaku yang nyaris berbisik.

Dia menghela napas berat. "Ikuti aku," ucap Zain. Aku memejamkan mataku sejenak. Aku tidak ingin menentang Zain. Apalagi setelah kejadian tadi pagi yang membuatku sedikit jengkel sekaligus jengah. Dengan terpaksa aku mengikuti keinginan Zain.

Aku memandang dengan tidak percaya tepat aku datang ke ruang makan. Dahiku mengernyit, kepalaku menoleh ke arah Zain. Zain sedang tidak bergurau bukan? Setelah dia menyakitiku, dia langsung menyuruhku untuk ikut dengannya ke ruang makan tanpa maksud apa pun. Oh astaga, yang benar saja! Apa sih sebenarnya maksudnya? Aku masih terpana menatapnya, dia berjalan santai menuju kursi, tempat biasa dia duduk. Dahi Zain mengernyit saat aku masih berdiam diri di tempatku tanpa ingin duduk semeja sama dengannya. "Duduk, Aliya," ucap Zain. Mataku memincing, menyelidik sesuatu yang aneh dari sikapnya. Pada akhirnya, aku tidak menemukan apa pun terkecuali bahwa saat ini, Zain sedang bersikap manis padaku. Aku berjalan menuju kursi, duduk di sana, melipatkan tanganku di atas meja, dan masih memandang Zain dengan sedikit gelisah. Apakah Zain akan menceraikanku? Tidak! Tidak! Itu tidak mungkin. Buang jauh-jauh pikiran gilamu itu Aliya! Tapi bagaimana jika benar?

Zain masih bungkam, dia sibuk mengoleskan selai ke roti tawar. Tatapan mataku tidak lepas dari setiap pergerakannya. Kau menyuruhku untuk datang ke sini hanya untuk menonton dirimu yang sibuk mengoles roti? Yang benar saja! Kulihat dia sudah menaruh dua roti, menumpuknya dengan roti lain di piring. Lalu dia menggeser piring berisi roti padaku. Jelas aku terkejut, aku membasahi bibirku,mengambil piring tersebut tanpa memakannya sama sekali. Aku masih memandangnya, dia kini kembali mengolesi roti. Hingga tatapannya jatuh padaku.

"Kenapa kau tidak makan, Aliya?"

"Hal apa yang ingin kau bicarakan padaku?" Tanyaku langsung ke inti. Zain terkekeh pelan, dan berkata, "Jadi dari tadi kau memikirkan hal itu?"

"..."

Dia menghentikan aktivitasnya, menautkan tangannya di atas meja. Memandangku dengan senyuman tipis, kemudian berkata, "aku hanya ingin meminta maaf atas sikapku tadi pagi. Aku merasa bersalah telah berkata kasar padamu." Zain diam sejenak. "Kau mau, kan memaafkanku?"

Aku tertunduk, merenungkan perkataan Zain. Maaf? Tentu aku bisa memaafkanmu, Zain. Tapi sampai kapan kau akan terus meminta maaf sedangkan kau seringkali menyakitiku tanpa henti. Aku terus memperhatikan tanganku, mengusap-ngusap kuku yang ada di jariku.

"Aliya." Zain kembali memanggil namaku, membuatku mendongak. Lalu, aku membalas dengan anggukan kepala. Dia memperhatikan diriku, walau sejenak, kemudian dia tersenyum. Kembali lagi melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Aku hanya melahap sedikit roti. Apa kau akan terus seperti ini, Zain? Menyakitiku lalu mengobatiku kembali dan berusaha membuatku lupa akan kenangan manis bersamamu.

ALIYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang