Di teras rumah

550 23 0
                                    

Di malam yang hampir malam, dentang suara jam kian pelan. Hanya terdengar suara jangkrik yang sedang memainkan irama, kelompok satu dan kelompok lain saling bertukar irama. Jari jemari mencari-cari lekak-lekuk wajah. Wajah yang tak asing lagi tersentuh oleh pori-pori kulit, wajah yang dirindukan dua bola mata yang menyembunyikan luka, walau hasilnya percuma ; sia-sia.

Langit murung, enggan menampakkan rembulan, entah mengapa. Mungkin saja ia tahu, sang kekasih belum kunjung tiba. Para bintang sembunyi di balik awan-awan yang sedang bertamu kala itu.

Di pertigaan jalan, sinar lampu begitu indah, membiaskan bayangan yang jatuh di jalanan. Semilir angin menggoyangkan dahan. Menerbangkan  aroma cinta yang menggantung di pucuk-pucuk dedaunan.

Langit tersenyum, rembulan benderang, awan hitam pergi tanpa penyesalan, sang bintang kembali saling merebut perhatian.

Sedang di dapur, air telah membuih. Satu cangkir kopi hitam panas akan aku siapkan, namun aku sedang ingin meminum susu putih hangat. Sepertinya pasangan yang pas seperti warna kehidupan.

Kekasih datang membawa buah tangan, senyuman mengembang dengan kasih sayang yang dilimpahkan pada satu kecupan di kening sang wanita pujaan. Pelukan hangat menepis angin yang sirik.

Diteras rumah, mereka menabur tawa di iringi desir angin menyapa dedaunan yang menggantung di dahan pohon mangga depan rumah. Pohon yang segar setiap kali sang kekasih datang.

Malam semakin malam, begitupun dengan cinta yang mereka harapkan. Walau kegelisahan sedang berdiri di ujung jalan, namun sekarang tetaplah sekarang. Menikmati waktu yang sedang memberi nikmat di hati setiap insan.

-junidanjuli

Tentang Hujan Sore TadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang