Kau dan Aku

503 22 0
                                    

Setiap rindu yang kau tabung, menumpuk dan memenuhi ruang batinmu, sesakku.

Setap luka yang kau pendam, melubangi setiap celah hatimu, lelahku.

Setiap udara yang kau hirup dan yang mereka hirup, tanpa pernah ia rasa, tanpa pernah kita rasa, rasa syukur setiap detiknya.

Lalu caci maki lidah dan jiwa menghujam angkasa, tanpa pernah tahu apa yang mereka perbuat padanya.

Benci dan rindu yang tak tahu bagaimana ia berlalu, kau sematkan dengan makian akan hidup yang bahkan tak pernah kau rasakan hidupnya hidup.

Lalu apa yang dijawab oleh rumput yang bergoyang diterpa angin sore itu? Katakan padaku

Apakah ia mengatakan sepasang kaki berdiri di bawah rindang pohon saat sinar mentari mulai turun mengucapkan kata pergi, sinarnya jatuh memasuki celah-celah untaian rambut seorang perempuan dengan mata yang menatap harapan, menunggu.

Ia hirup udara yang mengelilingi dirinya, memilah, mencari-cari aroma tubuh yang sedang ia rindukan hadirnya.

Langit malam datang bersama isak tangis yang tertahan di dedaunan, jatuh dengan lembut tanpa paksaan.

...

Wahai Tuan, sang pujaan pikiran. Adakah secercah rasa yang mengusik relung kalbumu, rasa yang kurasakan kala itu.

Adakah aku singgah di hatimu, tempat yang selalu kuharap menjadi rumah untukku, tempat menetap.

Adakah harapan masa depanmu, masa bersamaku, menghirup udara berdua, disebuah rumah sederhana ditengah bukit hijau yang udaranya membawa kedamaian nirwana. Mengingatkan kembali akan cinta masa itu, cinta yang sudah melewati segala rintangan yang tergambar disetiap garis kulit tubuh kita, cinta yang semakin bersemi dengan senyummu disampingku, senyum tabah yang menenangkan hidupku.

Aku adalah kabut yang mengelilingimu, menyambut pagimu, menutup malammu. Lalu kau enggan menyentuhku, kau kenakan mantel tebal yang melindungi kulitmu, enggan bertemu denganku. Kau bersembunyi di balik dinding itu, dibalik mobil itu, dibalik selimut itu, dibalik tubuh perempuanmu.

Aku adalah aku, aku yang masih terus mencintaimu dengan kebodohan egoku, ego yang masih mengaku dirinya akan menang mendapatkan hatimu, hati yang kulihat dipenuhi rasa hangatnya api unggun ditengah dingin yang menghentikan aliran sel darah, membeku.

Dan kamu tetaplah kamu, seorang yang terus dipuja didalam pikiran dan jiwaku, seorang yang menjadi jawaban dari setiap pertanyaan yang aku gantungkan dilangit malam. Seorang yang mencintai kekasihnya begitu dalam.

Lalu kau dan aku hanyalah sebuah kisahku, kisah harapanku, cintaku tak bersemi, bahkan kubiarkan ia tak berkuncup dan hanya membiarkannya layu dan mati. Sebab disisi lain telah kulihat musim semi yang memekarkan bunga-bunga tadi, indah walau mengiris hati. Sebab hanya aku disini sendiri yang melawan sepi.


-Junidanjuli

Tentang Hujan Sore TadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang