Rembulan berdiri di hadapanmu, pada gelap yang mulai bertamu tanpa kau undang maupun kau suruh, mengganggumu kembali ( Mencemooh dan mengusik ketenangan, angin berubah menjadi dingin, bintang menjadi amat terang menyilaukan, jangkrik bernyanyi kencang memekik telinga), resah.
Kau berteriak; kesal, lalu menghempaskan tubuhmu yang masih berpakaian lusuh dengan beribu lelah ke sofa tua itu. Debu-debu keluar berterbangan saling menyapa dan bertukar arah. Entah sudah berapa lama kau tak bersandar pada tubuh perempuan yang dulu menjadi tempat rebah menghilangkan gelisah.
Tiba-tiba kau bangkit menuju ruang dapur yang pengap dan menjadi rumah para laba-laba yang berdansa. Kau membuat secangkir kopi hangat, berharap hangatnya dapat menenangkan bibirmu yang gemetar merindukan sentuhan. Pahit, umpatmu. Bahkan tanpa kau sadar, kau telah menaburi gula itu dengan takaran tiga kali lipat dari biasanya kau minum; saat perempuan itu menyajikannya untukmu.
Hambar, lidahmu mati rasa seiring rasa yang telah mati di hati perempuan yang masih kau puja. Hanya tersisa ampas pahit, sepahit masa lalu yang masih kau bawa. Sepahit hal yang telah kau sesalkan. Menyesal memberi kepahitan di akhir percintaan.
-junidanjuli-

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hujan Sore Tadi
PoesíaHIGHEST RANK ⭐️ #1 on Kumpulanpuisi [20/04/2022] #2 on Sajak [15/09/2022] Setiap rinai hujan adalah sebuah kata yang menyatu menjadi sebuah kalimat rindu. Nada syahdu yang merayu untuk mengenang sebuah masa lalu. (Perubahan judul dari : JUNI DAN JUL...