"Hei... dia sudah bangun,"
Aku mengerjapkan mataku. Dimana ini? Ah persetan. Yang penting aku masih hidup. Aku berusaha untuk bangun. Kulihat selang infus di tangan kiriku dan berniat untuk melepasnya.
"Jangan!" Seorang perempuan menahan tanganku. Dan sedetik kemudian, ia melepaskan tanganku.
"Oh, maaf... hanya saja, kau jangan dulu melepas itu... kau masih tahap penyembuhan,"
"Siapa kau?" Tanyaku.
"A-aku um...--"
"Al, dia sudah sadar ?" Seorang wanita menghampiriku.
"Oh ya. Aku Jennifer. Dan ini putriku, Allison. Sekarang kau berada di markas kami. Kami menemukanmu tergeletak tak jauh dari blok tujuh."
"Dimana aku sekarang?" Tanyaku sembari meraba tengkukku yang terbalut plester.
"Kau berada di Markas Right Arm," Jawabnya singkat.
"What the hell is Right Arm?" Tanyaku dengan sedikit membentak. suaraku berhasil membuat Allison bersembunyi dibelakang tubuh Jennifer.
"Oh. Maafkan aku. Aku hanya belum bisa mencerna apa yang terjadi." ucapku sambil memijat keningku.
"Tidak apa, son. Kami mengerti. Dan lihat! Ternyata kau sudah sembuh, dengan begini, kau bisa berkeliling sebentar," Jennifer mengulurkan tangannya padaku.
"Sebelum kau salah paham, aku akan menjelaskan semua tentang Right Arm. Kami bukanlah penjahat. Apalagi pemberontak. Kami adalah sekumpulan warga yang selamat, dan belum dievakuasi. Pemimpin kami adalah Mark Hemmings. Dia--"
"Adik dari Andy Hemmings. Ya aku tahu itu, Jen." Potongku.
"Dia memang sudah mempersiapkan ini semua. Seperti bunker bawah tanah, persenjataan, dan lain-lain. Senjata kami lebih mutakhir dari senjata milik militer Amerika Serikat. Bertahun-tahun yang lalu, Mark sudah mengimpor senjata khusus dari rekannya di Russia. Tertarik untuk melihat?" Aku dan Jen berhenti didepan suatu ruangan.
"Wow..." Bunker ini terlihat sangat luas dan bersih. Didalamnya, terdapat banyak sekali senjata yang disusun rapih.
"Kau mau mencoba salah satunya?"
"Boleh," Aku mengambil salah satu senjata yang tersusun di dinding.
"Itu Silent. Senjata yang dipakai putriku saat misi pertama." Aku mulai menyesuaikan tanganku dengan senjata itu.
"Bisakah kau ajari aku cara memakai ini?" Tanyaku sembari menaruh kembali senjata itu.
"Ah, tanganku sudah tidak terlalu lihai untuk ini, kau bisa meminta putriku untuk mengajarimu." Jawabnya dengan senyum simpul.
"Baiklah, saatnya kau beristirahat, son. Kamarmu ada di ujung lorong nomor tiga. Ini kartunya. Besok kita bertemu saat sarapan," Jennifer memberikan kartu akses dan berlalu pergi.
Aku menggesek kartu dan terlihatlah sebuah kamar sederhana dengan dua ranjang disisi kanan dan kiri. Ya, hanya itu dan sebuah lemari kecil diujung kamar.
Dan jangan lupakan seorang laki-laki yang tidur tertelungkup di ranjang sebelah kiri. Siapa dia?
Aku duduk di sisi ranjang yang jauh dari kata empuk itu. Dan aku mulai takut dengan laki-laki disampingku yang mulai bergerak-gerak.
"Aku ingin nachos..."
Syukurlah dia hanya mengigau. Aku mengganti seragamku dengan baju yang tersedia di lemari. Dan meletakkan seragamku yang super berat itu. Saat aku baru saja ingin tidur, laki-laki disebelahku tiba-tiba duduk dan berhasil membuatku gagal jantung.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSEEN
Science FictionAkhir-akhir ini, berita tentang kabut mematikan atau 'deathly fog' tersebar luas. Ya, kabut yang samar-samar, bahkan tak terlihat. Aku dan teman-temanku menghiraukannya. Kami pikir itu hanya berita konyol. Tak masuk akal. Lampu sekolah kami tiba-tib...