BAB 8

141 12 0
                                    

BAB 8
Masih Kurang

"Your first love will always have a special place in your heart."

🌹

ADEL masih dalam posisinya tadi. Terduduk di ranjang dengan MacBook di hadapannya. MacBook-nya menampilkan laki-laki korea yang menurut Adel gantengnya naudzubillah.

Ini adalah salah satu caranya menghilangkan beban. Beban karena sebentar lagi ia akan menghadapi ujian akhir semester. Satu lagi, mencoba menghilangkan kerinduan.

Selain menonton drama Korea, Adel juga suka menulis. Entah menulis  apa itu. Adel akan membagikan beberapa tulisannya di akun blog atau tumblr-nya. Ya. Itu salah satu alasan kenapa Rama bisa mengetahui bahwa ia suka menulis.

Kalian boleh menyebut itu hanya pelarian Adel. Ketika Adel sudah bosan belajar. Ketika Adel sudah bosan mengerjakan tugas. Dan ketika Adel sudah bosan merindukan seseorang. Lagi-lagi, dia. Dia, Mas Atha-nya.

Cklek.

“Belajar, Del! Bukan nontonin cowok cantik!” Alif tanpa mengetuk pintu masuk ke kamar Adel, membuat Adel melotot.

“Apaan coba! Bukan cowok cantik! Mana ada cowok cantik, adanya oppa-oppa ganteng kok! Pergi deh sana kalo mau ganggu,” kilah Adel karena tak terima cowok-cowok kesayangannya itu dihina. Ia juga paling malas jika acara menonton cowok gantengnya harus terganggu dengan kedatangan Alif.

Alif mendengus malas memasuki area Adel—duduk di sofa bed sebelah ranjang Adel. Kemudian melemparkan satu bungkus keripik singkong rasa coklat pada Adel. “Tuh buat elo. Lagi PMS ya?”

Adel tertawa kecil menangkap bungkusan keripik dari Alif dengan sigap. “Abang ganteng tahu aja deh,” ujarnya sambil membuka bungkusan keripik itu. “Abang diem ya! Jangan bawel! Adel lagi fokus. Ini Adel lagi sebel sih. Bentar lagi selesai, kok.”

Alif hanya manggut-manggut lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana santainya itu. Adel memang paling tidak bisa diganggu ketika sedang berada di depan MacBook-nya itu.

Kalau saja Alif berani, mungkin singa betina akan siap mengamuk karena sarangnya diganggu. Pernah dulu ketika Adel sedang asik menulis dan Alif mengganggu, Adel memarahinya hingga melempar bantal secara bertubi-tubi. Alif tidak mau lagi.

“Ya Allah, ini kenapa  Ha Won nggak sama Hyung Min aja...,” gumam Adel sambil mengunyah keripik singkongnya. Ia bahkan sampai menyebutkan nama si tokoh saking gemasnya. Pandangannya masih terarah pada MacBook di depannya. “Tuh kan... gantengan juga Hyung Min!”

Alif mendengus malas melirik Adel, tapi tangannya lincah membalas berbagai pesan dan membuka berbagai notifikasi yang masuk di ponselnya. “Bujugile. Nonton mah nonton aja. Kalo mau protes sama sutradaranya aja!” Alif berkomentar membuat Adel memelototinya.

“Dibilang jangan ganggu dulu! Bentaran lagi nih,” sahut Adel.

Alif meringis, “Iya iya! Tapi masih gantengan gue ‘kan?” tanya Alif tertawa.

Bugh.

Satu bantal berwarna merah muda berhasil mendarat dengan indah di wajah mulus Alif. “Diem! Kalo ngomong, Adel timpuk lagi!” ucap Adel galak.

Alif hanya bisa mendelik lantas kembali memainkan ponselnya. Membalas berbagai chat dari cewek-cewek yang mengidolakannya. Ada hiburan tersendiri bagi Alif membalas chat yang masuk pada ponselnya itu.

Adel masih melanjutkan menonton drama korea kesayangannya yang judulnya mirip-mirip dengan dongeng pengantar tidurnya dulu. Sementara Alif pun masih memainkan ponselnya dengan ekspresi berubah kadang senyum-senyum sendiri dan kadang cemberut. Dasar gila! Mungkin itu yang ada di pikiran Adel kala melihat abangnya. Ada sekitar 15 menit mereka dalam kondisi seperti itu.

“Abang gila deh! Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Adel ketika ia sudah merampungkan menonton drama koreanya. “Hayo! Punya cewek baru, ya?”

Alif mengalihkan pandangannya dari ponsel menuju Adel di seberangnya. “Wong tadi kamu cuekin Abang kok! Ya udah... abang jadi mainin hape.”

“Hehehe. Maap deh,” ujar Adel. “Tadi kan fokus liat oppa-oppa ganteng. What’s wrong?”

“Gimana?” tanya Alif pada Adel. Ia sekarang sudah berganti posisi menjadi duduk. “Maksud Abang, gimana sama Rama?”

Adel membentuk bibirnya menjadi huruf ‘o’, “Oh itu. Gimana apanya? Abang udah balikan ‘kan?” Adel memastikan.

Alif malah melotot mendengar kata-kata Adel yang menurutnya sangat ambigu, “Heh! Balikan nenek lo!”

“Nenek Adel ‘kan nenek Abang juga.”

“Ah ya! Lupa,” balas Alif. “Balikan jadi sahabat gitu? Ya emang. Terus lo gimana sama dia?” Alif menanyakan perihal Rama.

“Adel sama Bang Rama nggak gimana-gimana, Bang. Kami berteman, atau bersahabat mungkin,” sahut Adel.

“Berteman? Dia udah nyatain perasaanya sama lo?” Alif bertanya.

Adel mengangguk membenarkan.

“Terus lo jawab apa?” Alif bertanya lagi.

“Jawab kalo Adel penginnya sahabatan aja gitu. Berteman ‘kan enak. Dia juga udah ceritain masalah kalian.”

“Terus terus?” tanya Alif antusias.

Adel mengerucutkan bibirnya sebal, “Abang kayak tukang parkir deh. Terus terus, ntar nabrak ah!”

“Ye! Gue serius! Terus lo gimana lagi? Dia bilang apa gitu kek.”

Adel tampak berpikir mengingat apa saja yang diucapkan oleh Rama tadi. “Ya intinya Bang Rama bilang dia mau mau aja berteman dengan Adel yang nakal ini. Eh enggak ada dia bilang gitu sih. Dia bilang oke oke aja kalo Adel mintanya berteman.”

“Emang lo nggak suka dia?” tanya Alif dan membuat Adel menggeleng.

“Maksud Abang suka sebagai laki-laki beneran ‘kan? Bukan kakak atau teman?” Adel memastikan. Alif mengangguk. “Adel nggak deg-degan tuh, kalo deket Bang Rama,” ujar Adel.

“Gitu ya? Emang lo sukanya sama siapa, Del?” Alif  lagi-lagi bertanya.

“Sama cowok pastinya.” Adel menjawab sekenanya.

“Siapa?” tanya Alif penasaran.

“Kepo.”

“Cowok yang kamu taksir namanya 'Kepo'?” ledek Alif.

“Bukan ish! Abang!” Adel menggerutu. Pasalnya, dalam kondisi apapun Alif pasti bercanda. Seperti saat ini.

“Hehe. Tau ah. Abang mau bobo sini aja,” kata Alif sambil mengambil posisi di ranjang Adel yang cukup besar dan muat untuk 3 orang itu.

Adel mendelik, “Jangan pakai selimut Adel yang bunga-bunga!”

“Enggak apa-apa lah. Abisnya wangi,” ujar Alif lalu memakai selimut yang Adel maksud menutupinya.

“Ish Abang!” gerutu Adel tapi tetap membiarkan Alif memakai selimutnya. Ia malah fokus terhadap MacBook di hadapannya.

Alif menutup seluruh tubuhnya dengan selimut berwarna merah muda dan bermotif bunga-bunga milik Adel.

“Del,”

“Hm?”

“Sahabat Abang yang di Amsterdam jadi pindah,” kata Alif.

“Kapan?” tanya Adel.

“Habis kita ujian kayaknya,” jawab Alif.

“Oh ya? Bentar lagi dong,” sahut Adel.

“Iya. Ati-ati naksir lho. Sekarang mah iya pura-pura cuek gitu sih. Dia ganteng lho.”

“Abang suka, ya? Kalo suka nggak apa-apa kok. Ehhh! Jangan! Ntar nggak normal lagi! Hiii, amit-amit deh ntar Abang jadi el ji bi ti,” ujar Adel sambil tertawa kecil.

“GUE NORMAL ADEL!” teriak Alif sambil membuka selimut pada bagian atas tubuhnya.

“Hehehe. Ampun Bang ampun.”

Nah. Kurang lengkap apa lagi hidup Adel? Kakaknya yang sangat menyayanginya. Selalu sedia menolongnya. Selalu sedia melindunginya. Selalu sedia menjadi sandarannya.

Lagi-lagi, kurang Mas Atha-nya.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang