[LITTLE COMPLICATED]
BAB 28
Her Effect"Suatu waktu, aku bahagia berada di dekatmu bersamaan dengan efekmu yang luar biasa itu. Tapi, setelahnya, aku sadar bahwa kamu itu awan untukku, meneduhkan namun hanya sebagai angan."
🌹
“BISA ikut gue sekarang, Del?”
Adel tersentak lalu refleks mundur ke belakang. Ini di luar dugaannya. Rama tiba-tiba muncul di hadapannya. Untung Adel nggak teriak-teriak dan bilang ada hantu di depannya seperti yang terjadi ketika pertama ia melihat Atha di rumahnya. Memalukan!
“Ha?” Adel mendongak. “Maksudnya, Bang?”
“Ikut gue sebentar,” tukas Rama. “Gue nggak tahu lagi harus gimana. Adek gue hancur.”
Adel yang sedaritadi duduk di tribun kini bangkit dan berhadapan dengan Rama. “Bang? Kenapa?”
Rama bergeming lalu sepersekian detik selanjutnya muncullah kata-kata yang enggan diungkapkannya. “Bokap nyokap gue cerai. Masih proses memang. Tapi gue nggak tau lagi, dan adek gue... bener-bener hancur.”
Adel jadi diam seribu bahasa. Posisinya serba salah. Di sisi lain, hari ini dia akan menjemput orang tua Atha di stasiun. Orang tuanya di perkirakan sampai di Bandung satu jam lagi. Dan... masih ada waktu bukan?
“Bisa ikut gue sekarang, Del?” ulang Rama. “Sebentar saja. Setelah lo lihat dia dan lo mau pulang. Terserah lo.”
Ucapan Rama menohoknya. Bukankah dulu ia yang menawarkan diri menjadi sahabat Rama? Tapi kenapa sekarang ketika dibutuhkan oleh Rama ia justru... seperti merasa keberatan? Kenapa?
Dan Adel lebih memilih sahabatnya. Adel mengangguk.
“Oke. Adel ikut.”
Sepuluh menit kemudian, motor Rama sudah menambah polusi di Bandung siang ini. Selanjutnya perjalanan mereka hanya diisi suara kendaraan yang saling bersaut dan ramai.
Adel tidak berani bertanya lebih. Ia cukup tahu point pentingnya saja. Tak usah sampai dijelaskan. Dan melihat kondisi Rama yang tidak baik-baik saja sudah menjadi alasan kuat kenapa ia mengiyakan ajakan Rama.
Ban berdecit, limabelas menit kemudian motor Rama berhenti di halaman rumah yang cukup megah namun terkesan sederhana.
“Masuk, Del,” Rama mempersilakan Adel setelah membukakan pintu. Hawa sepi menyeruak, tapi, Adel mendengar suara tangis perempuan dari dalam rumah. Lebih detailnya, lantai atas.
“Bang?” panggil Adel. “Itu... Rena?”
Rama menghembuskan nafasnya perlahan. “Ya. Dia... desperate.” Lalu Rama melanjutkan, “Dia nggak bisa menerima orangtua kami cerai. Jadi... dia gitu,” ujar Rama. Terlihat sekali sorot kesedihan dari matanya yang biasanya setajam elang. “Gue udah coba hibur dia. Tapi nihil. Untung aja dia masih waras dengan nggak ngelakuin hal gila.”
“Uhm... boleh Adel ketemu dia?”
Rama mengangguk, “Justru itu gue bawa lo kesini. Siapa tau lo bisa bantu dia,” katanya. “Lo mau minum dulu atau makan?”
Adel menggeleng, “Nggak. Adel udah makan tadi.”
Rama mengangguk lalu membawa Adel ke lantai dua rumahnya. Kakinya bergerak menaiki anak tangga satu per satu. Dan kini keduanya sudah berhenti di depan kamar dengan pintu bercat putih.
Setelah mendekat ke kamar itu, suara tangis yang tadi hanya terdengar sayup-sayup kini benar-benar terdengar. Lebih keras dan menyayat.
Rama mengetuk pintu di depannya dengan sedikit keraguan, “Ren? Ayo buka.”
Suara isak tangis dari dalam justru semakin kencang, “APA?! BANG RAMA MAU MINTA RENA BUAT IKHLAS??? NGGAK BISA! NGGAK AKAN BISA! GIMANA RENA MAU HIDUP KETIKA MAMA PAPA NGGAK BERSAMA LAGI?!”
Adel sampai tersentak setelah mendengar teriakan dari dalam. Rama menghela nafasnya lagi, mengatur agar emosinya tak meluap begitu saja. “Gue nggak akan maksain lo buat ikhlas karena itu nggak bikin mereka bersama. Sekarang terserah elo, mau buka pintu buat tamu kita hari ini atau nggak.”
Isakan tangis mengecil dari dalam, lalu pintu di depan Adel dan Rama terbuka. Menampakkan seorang gadis yang keadaannya memang tidak baik-baik saja. Mata sembap, muka memerah, rambut acak-acakan, dan di belakangnya, kamar yang pantas dikatakan kamar pecah.
Siapa yang bakal baik-baik saja ketika orangtuanya memilih untuk berpisah?Memang benar jika berpisah dan saling merelakan adalah titik terakhir perjuangan cinta. Tapi Rena sama sekali tak setuju jika orang yang sama-sama mencintai itu masih bernafas. Yang Rena harap, mereka berpisah karena kematian. Bukan masalah yang mungkin dapat diselesaikan.
“Ren, kenalin, ini adek kelas gu—“
“Adiknya Bang Alif, Adel ‘kan?” ujar Rena, gadis itu, dengan suara seraknya.
Adel mengangguk lalu mengulurkan tangannya, “Hai, gue Syaqueenindya Adelia. Boleh panggil Adel.”
Rena menatap sebentar pada Adel lalu menerima uluran tangan Adel. Mereka berjabatan tangan sekarang. “Gue Rena.”
“Kayaknya kita pernah satu angkatan dan gue belum pernah kenalan sama lo, ya?” ujar Adel sambil tertawa sumbang. Mencairkan suasana adalah maksudnya kali ini.
Rena mengangguk, “Gue sih udah tau lo. Abang lo cerita banyak waktu itu ke gue.”
“Lo pasti belum mandi dari pagi ‘kan? Nangis terus ‘kan? Bau nih!” sambar Rama. “Lo juga nggak salat kan?”
Yaaa. Seperti yang diharapkan Adel, suasana mencair.
“Gue nggak mau ngapa-ngapain, Bang!” balas Rena. “Gue tetep ingat Allah di saat gini!!”
Mereka masih berada di ambang pintu. Rena juga bingung, masa dia mau bawa Adel masuk ke kamarnya yang nggak banget sih?
“Mandi dulu gih sana,” perintah Rama pada Rena. Lalu ia berkata pada Adel, “Ke bawah dulu yuk, Del, biarin dia mandi sama beresin kamarnya dulu.” Rama mengajak Adel turun ke lantai bawah.
Rena manyun, “Abaaaang!!!!” teriaknya. “Iya Rena mandi iya!!!”
Brak. Dan pintu ditutup dengan kencang oleh si empunya. Di depan pintu, Adel mengusap-usap dadanya perlahan karena kaget. Rama, ia tersenyum sumringah. Ternyata benar, Adel memberikan efek yang dahsyat bagi orang-orang di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia
Teen Fiction[CERITA SUDAH SELESAI] Namanya Atha. Mas Atha, begitu kusebut namanya. Dia adalah lekaki ketiga dalam hidup yang membuatku mulai mengenal dunia, setelah Papa dan Abang tentunya. Bertahun-tahun aku mengenalnya, aku sadar dialah pusat duniaku. Sayangn...