BAB 38

59 2 0
                                    

"Jiwa seseorang boleh saja hancur, tapi tidak dengan raganya. Batin seseorang boleh saja terpecah belah, tapi tidak untuk bentuk lahirnya."--Lelaki nomor satu di hidup saya.

BAB 38
Jiwanya Dihancurkan

"Even the smalest lie can break the big trust."

🌹

ADEL berjalan dengan perasaan yang tergambarkan menuju ibunya di tribun. Dia bukan hanya hancur, tapi kini berserakan. Cukup sudah. Rasanya, menangis pun ia kini tak bisa setelah melihat kejadian di depannya tadi. Kemarin-kemarin, ia dipukul berbagai palu yang tak kasat mata, ia masih utuh, ia masih kuat. Dan kini... entah apa yang menghancurkannya hingga ia berserakan begini.

"Kenapa, Del? Kok lesu gitu?" kata Helena. Adel lupa, ibunya bersama ibu dari kawan abangnya. Yang berarti ada ibunya Atha, Helena.

Adel menggeleng lantas memaksakan senyum. "Nggak pa-pa, Tante. Cuma cape aja."

"Oh kamu dapat medali emas juga, ya? Selamat yaaa! Wah calon mantu Tante hebat deh!" pujian sekaligus godaan yang keluar dari mulut Helena membuat Adel tercengang.

"Engh tante bisa aja." Adel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Bu, Adel bareng abang duluan, ya," ucap Adel pada ibunya.

Okta mengangguk, "Ya udah. Ntar Ibu sama Ayah. Kamu sama abang hati-hati, ya!"

Adel mengangguk lalu berlalu meninggalkan kerumunan ibu-ibu itu. Kakinya melangkah mendekat pada abangnya. "Abang! Adel mau pulang!"

Alif yang sedang asik berfoto menoleh dan mendapati adiknya dengan muka lesu. "Belum selesai, adikku. Masih foto nih," kata Alif masih berpose dengan medali yang menggelantung di lehernya.

"Adel mau pulang."

Alif paham.

"Satu kali foto bareng abang, baru pulang?"

Adel mengangguk lalu menarik diri ke sebelah abangnya. Sementara salah satu teman abangnya sudah sedia dengan kamera di tangannya. "Satu... dua... tiga..."

Cekrek.

"Sekali lagi, ya?" kata Alif. "Pake gaya gini nih," ujar Alif sambil bergaya dengan menggigit medalinya. Entah apa istimewanya itu.

Kemudian, Adel hanya mengangguk dan meniru apa yang dilakukan abangnya. Kini mereka berdua berpose dengan menggigit medali hasil jerih payah mereka.

Cekrek.

"Udah, ya?" kata Adel sambil menatap abangnya.

"DEL!" seruan itu membuat Adel gugup. Kaku.

Ia menoleh dan didapati Atha-nya dengan senyum sumringah menghampirinya. Adel membatin, apakah Atha tidak punya perasaan?

"Foto bareng Mas yuk!" ajak Atha datang dari arah timur ke arah Adel. Ia menghampiri Adel dan mengambil alih posisi Alif tadi. "Do, fotoin gue sama Adel!"

Adel pasrah entah ke berapa kalinya. Raganya boleh saja masih baik-baik saja dan masih utuh. Tapi tahukah bahwa jiwanya melayang entah kemana? Lalu tiba-tiba dihancurkan begitu saja?

Cekrek.

"Adel mau pulang, Mas."

"Kenapa emang?"

"Adel mau pulang," sambar Adel. "Abang ayooo."

Adel lalu menarik tangan Alif dan membawanya pergi.

Adel terlalu sakit hati.

• • •

"Lo kenapa sih, Del? Nggak sopan banget sama pacar kok main tinggal aja." Alif berceloteh tanpa memikirkan perasaan adiknya itu.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang