BAB 9
Takut"It's hard to be the one always waiting."
🌹
HARI ini adalah hari Sabtu. Hari yang menyenangkan bagi murid SMA Sentosa Jaya karena hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semester. Dan di hari ini, hanya ada satu mata pelajaran saja yang diuji.
Begitu pula Adel, ia sekarang bangun dengan perasaan yang lebih segar dari hari-hari kemarin. Mungkin ia hampir gila ketika kemarin menghadapi soal-soal fisika yang membuatnya berpikir seratus kali lebih teliti. Soalnya yang kelihatan sedikit, ketika dikerjakannya menjadi beranak pinak. Itulah kenapa ia sangat membenci pelajaran IPA. Tapi demi ibunya, ia rela masuk di kelas IPA.
Adel membuka laci meja kecil di sampingnya, lalu mengambil sebuah pigura—yang berisi foto bocah, Atha. “Hai. Good morning, Mas Atha.” Adel menyapa seorang di foto itu.
Hal yang jarang dilakukan karena ia biasanya akan dibangunkan oleh Alif sehingga tidak sempat melakukan ritual itu. Kali ini, alarm ponselnya sudah sangat membantu membangunkan dirinya.
“Del, udah bangun?” teriak Alif dari luar kamarnya. Adel sungguh sedang malas bersuara meskipun suasana hatinya sedang baik. Adel bergegas meletakkan kembali pigura itu ke dalam laci.
Ceklek. Pintu kamar dibuka.
“Apaan sih, Bang? Udah bangun nih,” kata Adel sambil menguap. Ya meskipun diakuinya ia masih mengantuk.
Alif menatapnya berbinar, “Tumben lo. Kesambet apaan kok udah bangun? Buru salat,” ucap Alif. Alif masih mengenakan sarung dan peci di kepalanya. Ah menurut Adel, Alif adalah tipe cowok yang luar biasa. Sama seperti Ayahnya. Mereka rutin melakukan ibadah shalat wajib mereka di masjid.
Itu type cowok Adel. Sama Tuhan saja sayang gimana nanti sama aku? Mas Atha, kamu juga gitu ‘kan? Ia jadi geli sendiri membayangkan jika nanti Tuhan berbaik hati mempertemukannya kembali dengan Atha.
Meskipun abangnya, Alif, dicap sebagai pemain wanita atau apapun itu Adel tidak peduli. Abangnya tak seburuk yang dikatakan orang-orang. Orang-orang yang berkata buruk biasanya hanya iri! Iya iri karena banyak cewek naksir Alif. Banyak yang iri karena ingin menjadi seperti Alif atau ingin bersanding dengan Alif.
“Ya udah, Abang mau mandi,” ucap Alif sambil berlalu meninggalkan Adel.
Adel masih saja menguap lalu bergegas melakukan kegiatan rutinnya. Pikirannya sudah tak sesibuk kemarin. Memikirkan berbagai mata pelajaran.
Adel kini sudah berada di ruang makan. Tangannya bergerak cepat mengambil lembaran roti dan mengolesinya dengan selai coklat.
“Adel, makannya pelan-pelan, Sayang,” ucap Okta ketika melihat mulut putri kesayangannya dipenuhi makanan dan tangannya terus menyuapkan roti itu.
“Iya, Bu, ini pelan kok,” jawab Adel seadanya. “Adel mau belajar lagi soalnya. Adel ‘kan nggak pandai pelajaran seni budaya.”
Alif yang sedang mengunyah rotinya tersedak. Adel dengan cepat menyodorkan gelas berisi susu coklat pada Alif. Alif menerimanya dengan gesit dan dengan segera menenggak susu coklat itu.
“Ngapain coba belajar? Gue juga nggak belajar,” kata Alif. “Lagian nilainya nanti kan nggak ngaruh. Asal lo bener aja pas praktek-praktek kemaren.”
Adel melotot, “Nah! Justru karena itu, Bang. Adel nggak pandai prakteknya juga. Ya jadi harus memaksimalkan di ujian lisannya.” Ya. Pelajaran yang paling dibenci—kurang disukai—oleh Adel adalah IPA dan Seni Budaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia
Teen Fiction[CERITA SUDAH SELESAI] Namanya Atha. Mas Atha, begitu kusebut namanya. Dia adalah lekaki ketiga dalam hidup yang membuatku mulai mengenal dunia, setelah Papa dan Abang tentunya. Bertahun-tahun aku mengenalnya, aku sadar dialah pusat duniaku. Sayangn...